Puisi ini menggambarkan kondisi politik Indonesia yang kotor dan penuh dengan korupsi.
Namun, di tengah-tengah kondisi tersebut, Tuhan tetap hadir dan mengawasi.
Puisi ini terdiri dari empat bait:
Bait pertama menggambarkan kondisi politik Indonesia yang kotor.
Hal ini digambarkan dengan metafora "kotoran pesta politik manusia".
Bait kedua menggambarkan bahwa Tuhan tidak pernah cuci tangan dalam menghadapi kondisi tersebut.
Hal ini digambarkan dengan metafora "kudus firmanNya membersihkan kudis-kudis dusta".
Bait ketiga menggambarkan bahwa para koruptor dan pelacur tidak akan pernah terbebas dari dosa.
Hal ini digambarkan dengan metafora "walau tangan-tangan koruptor dan pelacur dicuci berkali-kali".
Bait keempat menggambarkan bahwa rakyat Indonesia tidak mengerti maknanya serakah.