"Soal nasib petani, seperti obrolan kita di sini beberapa hari lalu. Makanya lebih baik teman-teman kuajak ke sini saja, biar kenal sekalian dengan Pak Bei. Hitung-hitung tadarus," lanjutnya.
"Wonten dhawuh apa, Mas?," tanya Pak Bei pada tiga teman Narjo. Ketiganya hanya clingak-clinguk, lalu menunduk, tak ada yang berani ngomong. Maklum baru pertama ketemu Pak Bei.
Baca Juga: Forum Keberagaman Budaya Yogyakarta Minta Pejabat Publik Malioboro Dievaluasi
Cahya, anak sulung Pak Bei, datang menyuguhkan 5 gelas kopi di nampan dan klethikan, alias adu wedang. "Monggo diunjuk, Bapak-Bapak," kata Cahya mempersilakan tamu ayahnya.
"Njih, Mas. Matur nuwun," jawab Narjo. "Ayo dho maturo dhewe. Mumpung bisa ketemu Pak Bei. Kita minta pencerahan," kata Narjo ke temannya.
"Anu, Pak Bei, emm...cuma pengin ngobrol soal wong ndesa," Tomo mencoba bicara.
"Ada apa, Mas Tomo? Saya juga wong ndesa, lho."
"Soal tetanen, Pak Bei."
"Pertanian, maksudnya?"
"Inggih."