Jatam, Sebuah Pilihan untuk Menolong Petani

4 April 2023, 11:50 WIB
JATAM, wadah para aktivis Muhammadiyah menemani petani. /Foto : Pixabay

Oleh : Wahyudi Nasution

DESK DIY -- Sebenarnya Pak Bei mau langsung istirahat begitu masuk rumah. Tidur. Sholat tarawih tadi terasa berat di mata. Maklum kurang tidur.

 

Acara Rakerpim Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah di Jogja sejak kemarin siang baru berakhir dini hari, pukul 02.00 WIB. Karena sebelum shubuh harus bangun sahur, maka Pak Bei dan banyak teman lainnya pun memilih tidak tidur, tapi lanjut ngobrol hingga sahur.

Beruntung bakda shubuh sempat tidur hingga pukul 07.00, lalu lanjut kegiatan lagi, survey beberapa lokasi tanah wakaf di Sleman yang mungkin bisa digunakan untuk kegiatan MPM.

Baca Juga: Terpeliharanya Nalar Kritis Di Yogyakarta

Baru saja ganti pakaian dan bersiap mau ngglethak, berbaring, terdengar deru mesin sepeda motor masuk ke halaman nDalem Pak Bei, lalu terdengar salam. Ada tamu. Sarung yang sudah dilipat pun dipakainya kembali, dan Pak Bei langsung keluar menemui tamunya.

Ternyata Narjo si loper koran bersama 3 orang temannya. Meski berat, tapi tidak mungkin Pak Bei menolak tamunya. Apalagi ini Narjo, sahabatnya, si loper koran senior itu.

"Pangapunten, Pak Bei, saya tidak ngabari dulu. Usai tarawih langsung ke sini," kata Narjo minta permakluman.

"Iya kok tumben malam-malam, Kang. Ada apa?"

Baca Juga: Pemudik Punya Peran Kontribusi Ekonomi, Jangan Lupa Wisata dan Nikmati Kuliner Lokal

Terdengar dari speaker masjid-masjid di sekitar nDalem Pak Bei, anak-anak usia TK-SD mulai membaca Al Quran, tadarus. Ada yang sudah bagus bacaannya, tapi ada juga yang masih terbata-bata dan tampak masih hafalan. Dan nanti setelah anak-anak capek, giliran para remaja melanjutkan tadarus hingga pukul 22.00 WIB. Suasana khas kampung Pak Bei setiap malam di bulan Ramadhan.

Narjo memperkenalkan temannya satu-persatu, namanya Tomo, Marno, dan Mardi. Ketiganya tetangga Narjo, teman satu jamaah di mesjid kampungnya. Usianya juga sepantaran Narjo, di kisaran 60 tahun.

"Kami biasa ngobrol berempat di teras masjid usai sholat, Pak Bei. Ngobrol apa saja. Namanya juga wong ndesa," jawab Narjo.

Baca Juga: Dilantik Menjadi Menpora, Dito Ariotedjo Sosok yang Religius dan Murah Senyum

"Ya bagus itu, Kang. Di banyak masjid, budaya jagongan di serambi bakda sholat sudah lama hilang. Perlu dihidupkan lagi."

"Benar, Pak Bei. Ndelalah obrolan menjelang buka tadi agak serius."

"Soal apa, Kang?"

"Soal nasib petani, seperti obrolan kita di sini beberapa hari lalu. Makanya lebih baik teman-teman kuajak ke sini saja, biar kenal sekalian dengan Pak Bei. Hitung-hitung tadarus," lanjutnya.

"Wonten dhawuh apa, Mas?," tanya Pak Bei pada tiga teman Narjo. Ketiganya hanya clingak-clinguk, lalu menunduk, tak ada yang berani ngomong. Maklum baru pertama ketemu Pak Bei.

Baca Juga: Forum Keberagaman Budaya Yogyakarta Minta Pejabat Publik Malioboro Dievaluasi

Cahya, anak sulung Pak Bei, datang menyuguhkan 5 gelas kopi di nampan dan klethikan, alias adu wedang. "Monggo diunjuk, Bapak-Bapak," kata Cahya mempersilakan tamu ayahnya.

"Njih, Mas. Matur nuwun," jawab Narjo. "Ayo dho maturo dhewe. Mumpung bisa ketemu Pak Bei. Kita minta pencerahan," kata Narjo ke temannya.

"Anu, Pak Bei, emm...cuma pengin ngobrol soal wong ndesa," Tomo mencoba bicara.

"Ada apa, Mas Tomo? Saya juga wong ndesa, lho."

"Soal tetanen, Pak Bei."

"Pertanian, maksudnya?"

"Inggih."

"Kenapa, Mas?"

Baca Juga: Inggris Incar Amerika Pasarkan Motor Listrik Keren Maeving

"Nasib petani seperti kami ini benar-benar ngenes, Pak Bei. Berat. Makanya anak-anak kami jadi gak ada yang minat belajar bertani. Bantu-bantu bapaknya saja sudah gak mau."

"Begini, Pak Bei," Mas Mardi menimpali, "Dulu waktu masih ada Koperasi Unit Desa, KUD, kami masih bisa mendapatkan benih, pupuk, dan obat-obatan dengan gampang. Sekarang sulit. Memang sekarang ada program pupuk subsidi, tapi sering langka. Jatah pupuk subsidi juga sangat sedikit, tidak mencukupi. Jadi terpaksa kami harus beli pupuk non-subsidi yang mahal harganya. Jadi kami sering rugi, Pak Bei."

"Benar, Pak Bei, "sambung Marno. "Seperti harga-harga kebutuhan yang terus naik, biaya tanam padi pun semakin mahal, tapi harga jual panenan kami tetap rendah," lanjutnya.

Baca Juga: Kue Lebaran Nastar Lembut dan Kisaran Harganya

"Harga gabah kering panen dibatasi dengan Harga Batas Atas," Tomo menyahut. "Namanya Harga Batas Atas, tapi ya tetap rendah, Pak Bei. Jadinya kami gak bisa untung," lanjutnya.

"Pak Bei," Narjo menyela, "Seperti yang kukatakan kemarin, memang sudah saatnya Muhammadiyah turun tangan bantu masalah pertanian ini."

"Loh kan sudah ada Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kang. Ada Bulog, ada Kementerian Pertanian. Mereka yang ngurusi dan bertanggungjawab soal itu, Kang. Juga sudah banyak LSM dan Asosiasi atau Perkumpulan yang berkomitmen membela nasib petani. Kenapa harus Muhammadiyah?"

Baca Juga: Mento Kauman Banyak Dicari Pengunjung Pasar Ramadhan

"Begini lho, Pak Bei. Para petani ini tergolong wong cilik, posisinya sangat lemah, dhuafa' dan mustadz'afin. Orang-orang lemah itu hanya bisa berkumpul di tingkat Kelompok Tani dengan anggota 30-an orang. Lalu, 3-4 Kelompok Tani berkumpul di satu Gapoktan. Hanya itu perkumpulan mereka. Tidak ada perkumpulan dalam skala yang lebih besar sehingga mereka tidak punya kekuatan menghadapi para penindas."

"Piye maksudmu, Kang? Kok sangar temen bahasamu," Pak Bei sengaja memancing Narjo ngeluarkan aspirasinya. Memang, loper koran satu ini sering punya gagasan bagus, tapi selama ini dia hanya dipandang sebelah mata, tidak ada orang mau mendengarkannya.

"Pak Bei, aku yakin sebenarnya Muhammadiyah punya kemampuan mengorganisir petani dalam skala luas dan besar, skala Nasional. Ini penting agar petani punya daya tawar yang kuat terhadap pabrik benih, pupuk, obat-obatan, pedagang beras, dan para pengambil keputusan terkait pangan Nasional. Bahkan, dengan perkumpulan itu mereka bisa mandiri, tidak tergantung pada pabrik yang maunya untung sendiri.

Baca Juga: Momen Bersejarah di Arab Saudi, Sepak Bola Wanita Semakin Berkembang

"Caranya gimana, Kang? Ini persoalan besar dan tidak gampang. Bahkan rumit."

"Pak Bei termasuk Pengurus di PP Muhammadiyah, kan?"

"Iya, Kang."

"Muhammadiyah kan punya struktur organisasi yang kuat dan rapi sampai ke tingkat ranting/desa, Pak Bei?"

"Iya benar, Kang."

"Nah, pasti PP Muhammadiyah bisa bikin kebijakan untuk dilaksanakan oleh semua pengurus hingga di tingkat Daerah, Cabang, dan Ranting."

"Kebijakan apa maksudmu, Kang?"

"Kebijakan mengorganisir petani dalam satu wadah Jamaah Tani Muhammadiyah (Jatam), misalnya. Dengan wadah itulah para aktivis Muhammadiyah menemani petani, memberi pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kualitas panen sehingga harga jualnya bagus dan kompetitif menghadapi serbuan produk impor. Petani pasti senang bergabung di sana."

"Terus, Kang."

"Kita lihat Muhammadiyah juga punya potensi pasar yang sangat besar."

"Iya, Kang. Insya Allah."

Baca Juga: Gamis Turki Paling Banyak Diburu Jelang Lebaran

"Jutaan warga Muhammadiyah setiap hari butuh pangan, butuh beras, butuh daging, telur, minyak goreng, dsb."

"Iya benar, Kang."

"Artinya, Muhammadiyah pasti bisa menyerap produk petani binaannya sendiri. Di sini berlaku prinsip ta'awun, tolong-menolong sesama warga Muhammadiyah, Pak Bei."

"Wah bagus idemu, Kang."

"Narjo gitu lho, Pak Bei," sahut Mardi disambut tawa Tomo dan Marno.

"Satu lagi, Pak Bei. Ini tidak kalah penting," kata Narjo.

"Apa, Kang?"

"Muhammadiyah perlu menghidupkan kembali semangat berkoperasi para petani."

"Gimana caranya?"

Baca Juga: Ketua DK LPS : Perbankan Global Terguncang, Perbankan Nasional Tetap Stabil

"Dibentuk saja koperasi Jatam di tingkat Kecamatan atau Kabupaten sebagai wadah usaha bersama yang melayani pengadaan benih, pupuk, obat, dan peralatan yang dibutuhkan anggota. Koperasi itu juga yang nanti membeli dan memasarkan produk anggotanya ke pasar yang lebih luas."

"Wah bagus idemu, Kang. Insya Allah akan kusampaikan ke teman-temanku di Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah. Semoga bisa diprogramkan."

"Ingat, Pak Bei. Wis wayahe. Sudah saatnya Muhammadiyah turun tangan."

Sudah tak terdengar lagi suara tadarus di mesjid-masjid. Pak Bei melihat jam di hp-nya, sudah pukul 22.10. Narjo dan teman-temannya tampak saling ngasih kode untuk pamitan.

Baca Juga: Seminar Bisnis & Industri Energi: Biomassa Jadi Komoditas Penting Dalam Transisi Energi

"Pak Bei, malam sudah cukup larut. Kami pamit dulu, ya. Kita harus istirahat biar nanti bisa bangun sahur," kata Narjo.

"Baik, Kang. Terima kasih atas kerawuhan-nya. Senang bisa ngobrol dengan Mas Tomo, Mas Mardi, dan Mas Marno. Kapan-kapan kita sambung lagi, ya."

Tamu-tamu tampak lega meninggalkan nDalem Pak Bei. Tadarus bersama Narjo dan teman-temannya sangat mengesankan. Semoga menjadi mimpi indah di bulan Ramadhan. Terngiang-ngiang di kepala Pak Bei kata-kata terakhir Narjo tadi, "Wis Wayahe. Sudah saatnya."
Ya, sudah saatnya gerakan Jatam lebih diperluas dan dipertajam.
Terima kasih, Kang Narjo. ***

Editor: Mustofa W Hasyim

Tags

Terkini

Terpopuler