Puisi Gus Nas : Pangan

- 16 Oktober 2023, 09:19 WIB
Kekurang pangan menimbulkan ancaman kelaparan.
Kekurang pangan menimbulkan ancaman kelaparan. /Foto : Pixabay/billycm

DESK DIY - Pesta-pesta yang selalu menimbun sisa-sisa nasi berikut lauknya lalu membusuk dan dibiarkan mubazir. Tamu-tamu undangan yang merasa sudah memasukkan amplop lalu menumpuk aneka menu pada piringnya, makan sambil berdiri dan mengunyah sekadarnya sembari berbasa-basi. Mereka tumpuk nasi, salad, sambal goreng ati, daging rendang menyatu dengan kudapan dan lauk-pauk lainnya. Kenyang meninggalkan suara sendawa dan bau aneh dari mulut sesudah sajian resepsi dilahapnya.

Sementara jutaan anak-anak merasakan lapar, di trotoar jalanan orang-orang begitu sibuk mencari sesuap nasi, di desa-desa dan pinggiran kota stunting tak kalah perih merayakan pesta. Sisa-sisa nasi yang menangis. Di sisa pesta aku kumpulkan sisa-sisa opor ayam, tumis daging, brokoli dan slada, remah-remah makanan sisa dan sisa-sisa liurku yang menjadi saksi atas kemubaziran ini. Tuhan, ternyata pangan yang telah tersaji dan terhidang dalam tiap-tiap pesta telah disia-siakan dan dimubazirkan begitu saja!

Lalai pada petani lupa pada kemiskinan lebih jahat dari jahat saat hati menyayat dari melihat dengan mata kepala sendiri seluruh kemubaziran ini saat kenyang telah menyergap segala harapan.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Luntur

Pesta-pesta di hotel berbintang lima, resepsi di rumah-rumah mewah, di kantor-kantor kekuasaan, syukuran di restoran, di kampus dan semua acara-acara keagamaan juga membiarkan sisa-sisa makanan menjerit menyaksikan sampah kemubaziran. Para penguasa dan politisi sibuk berdebat tentang lumbung pangan, para pengamat dan akademisi berbusa-busa bicara soal kedaulatan pangan, swasembada beras dan kemandirian pangan lokal sembari sibuk memoles lipstik dengan bibir bergincu dan membiarkan petani, nelayan dan kaum buruh megap-megap hidupnya.

Aku saksikan seluruh negeriku bersuka-ria dengan makanan mubazir dan pesta-pesta yang hanya menyisakan piring-piring kotor beserta tumpukan makanan menjadi sampah

Apakah Firman Tuhan tak pernah sampai di telinga mereka yang membiarkan sisa-sisa makanan menjerit dan tak juga kudengar suara suci kaum agamawan, para politisi dan khotbah para wakil rakyat soal pupuk langka, kemandirian petani dan daulat pangan yang terngiang-ngiang di telinga? Kenapa pesta jadi sekedar memastikan kemubaziran lama? Sawah-sawah semakin sempit di tengah kerakusan yang semakin luas, nasib tragis para petani dibincangkan dalam seminar di hotel-hotel mewah sementara para petani setengah mati antri pupuk subsidi, nelayan dibiarkan tenggelam dalam pukat yang kian pekat, dan di kampus-kampus kurikulum merdeka telah gagal merumuskan lumbung pangan kenapa dusta?

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Mahalul Qiyam

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x