Tugu Tani : Bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM

20 Januari 2024, 08:33 WIB
Sutardji Calzoum Bachri /Foto : istimewa

DESK DIY - Bertengkar itu perlu mengenal kasta
Sesudah debat panjang di Taman Ismail Marzuki
Sastra sejati harus ada pemenangnya

Dalam Landover tua warna hijau itu berlanjut perang terbuka
: Penyair harus ada Presidennya!

Sesampai di Tugu Tani, desing peluru dan dentuman bom kata-kata makin menggila

Tiba-tiba razia polisi di depan mata: Priiittt!
Peluit menyalak memecah telinga
Gencatan senjata pun dimulai apalah daya

Sesudah mobil berhenti dan kaca dibuka, diplomasi dimulai
: Di mobil ini ada Presiden Penyair Indonesia

Aneh tapi nyata, sesudah polisi memandang satu persatu penumpangnya
Ia pun bicara: Silahkan melanjutkan perjalanan!
Salam hormat pada Presiden Penyair Indonesia

Seketika perang berakhir
Kami bertiga tertawa bersama!


Gus Nas Jogja, 19 Januari 2024
---------

Baca Juga: Kampanye Terbuka di Yogyakarta Dimulai oleh Pasangan Prabowo - Gibran

Puisi "Tugu Tani" karya Gus Nas ini menceritakan tentang perdebatan sengit antara tiga penyair Indonesia, yaitu Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Gus Nas sendiri. Perdebatan ini terjadi di dalam mobil Landover tua warna hijau saat mereka sedang dalam perjalanan dari Taman Ismail Marzuki menuju Toko Buku Gunung Agung di Kwitang, Jakarta.

Perdebatan ini terjadi pada akhir tahun 80-an, bermula dari perbedaan pendapat mereka tentang sastra sejati. Sutardji berpendapat bahwa sastra sejati adalah sastra yang tidak terikat oleh aturan-aturan konvensional. Abdul Hadi berpendapat bahwa sastra sejati adalah sastra yang mampu mengekspresikan realitas dengan jujur. Sementara itu, Gus Nas berpendapat bahwa sastra sejati adalah sastra yang mampu memberikan pencerahan dan perubahan.

Bertengkar itu perlu mengenal kasta

Sajak ini dibuka dengan pernyataan yang cukup unik, bahwa bertengkar itu perlu mengenal kasta. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pertengkaran yang terjadi di antara tiga penyair besar Indonesia, yaitu Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Gus Nas, bukanlah pertengkaran biasa. Ini adalah pertengkaran yang terjadi antara para penyair yang memiliki kedudukan yang tinggi di dunia sastra Indonesia.

Baca Juga: Syair Urat Leher : Ode untuk Abdul Hadi WM

Sesudah debat panjang di Taman Ismail Marzuki

Pertengkaran ini dimulai setelah ketiga penyair tersebut berdebat panjang di Taman Ismail Marzuki. Debat tersebut membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan sastra, seperti apa itu sastra sejati, siapa yang berhak menjadi presiden penyair Indonesia, dan lain-lain.

Sastra sejati harus ada pemenangnya

Ketiga penyair tersebut berdebat dengan sangat sengit. Mereka masing-masing memiliki pendapatnya sendiri tentang apa yang mereka yakini. Mereka juga saling ingin membuktikan bahwa pendapat merekalah yang paling benar.

Dalam Landover tua warna hijau itu berlanjut perang terbuka

Perdebatan tersebut berlanjut di dalam mobil Landover tua berwarna hijau. Ketiga penyair tersebut masih saling berdebat dengan sengit. Bahkan, perdebatan tersebut semakin memanas.

Penyair harus ada Presidennya!

Salah satu hal yang menjadi perdebatan utama antara ketiga penyair tersebut adalah siapa yang berhak menjadi presiden penyair Indonesia.

Baca Juga: Caleg Stres Disiapkan Ruangan Khusus di RSUD Wonosari

Masing-masing penyair memiliki kandidatnya masing-masing, dan Gus Nas menganggap bahwa Sutardji Calzoum Bachri adalah pilihannya.

Sesampai di Tugu Tani, desing peluru dan dentuman bom kata-kata makin menggila

Perdebatan tersebut semakin memanas ketika mobil Landover tua berwarna hijau itu tiba di Tugu Tani. Ketiga penyair tersebut semakin bersemangat untuk membuktikan pendapat mereka.

Tiba-tiba razia polisi di depan mata: Priiittt!

Tiba-tiba, sebuah razia polisi terjadi di depan mobil Landover tua berwarna hijau tersebut. Polisi menghentikan mobil tersebut dan menyuruh para penumpangnya untuk turun.

Peluit menyalak memecah telinga

Peluit polisi yang menyalak memecah telinga membuat ketiga penyair tersebut terkejut. Mereka pun berhenti berdebat dan turun dari mobil.

Gencatan senjata pun dimulai apalah daya

Baca Juga: Caleg Stres Disiapkan Ruangan Khusus di RSUD Wonosari

Ketiga penyair tersebut pun terpaksa berhenti berdebat karena polisi. Mereka harus menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang lebih baik.

Sesudah mobil berhenti dan kaca dibuka, diplomasi dimulai

Gus Nas, sebagai sopir yang sekaligus merupakan salah satu penyair yang terlibat dalam pertengkaran tersebut, pun bertindak sebagai juru bicara. Ia menjelaskan kepada polisi bahwa di dalam mobil tersebut ada presiden penyair Indonesia.

Di mobil ini ada Presiden Penyair Indonesia

Penjelasan Gus Nas tersebut membuat polisi terkejut. Ia pun memeriksa ketiga penyair tersebut satu per satu.

Aneh tapi nyata, sesudah polisi memandang satu persatu penumpangnya

Setelah memeriksa ketiga penyair tersebut, polisi pun berbicara kepada mereka. Polisi tersebut mengatakan bahwa mereka boleh melanjutkan perjalanannya.

Ia pun bicara: Silahkan melanjutkan perjalanan!

Polisi tersebut juga mengatakan bahwa ia menghormati presiden penyair Indonesia.

Salam hormat pada Presiden Penyair Indonesia

Ketiga penyair tersebut pun tertawa bersama. Pertengkaran mereka pun berakhir dengan cara yang tidak terduga.

Baca Juga: Ndarboy Genk dan Orkes Sinten Remen Ramaikan Pentas Musik 'Peace dan Harmoni'

Seketika perang berakhir

Ketiga penyair tersebut pun menyadari bahwa pertengkaran mereka tidak ada gunanya. Mereka pun memutuskan untuk mengakhiri pertengkaran tersebut.

Kami bertiga tertawa bersama!

Ketiga penyair tersebut pun tertawa bersama. Mereka menyadari bahwa mereka adalah teman yang saling menghormati.

Analisis

Sajak Tugu Tani karya Gus Nas ini merupakan sebuah satire yang menyindir perdebatan-perdebatan yang terjadi di kalangan para penyair. Sajak ini menunjukkan bahwa perdebatan yang terjadi di antara para penyair seringkali tidak ada gunanya. Perdebatan tersebut seringkali hanya berujung pada pertengkaran dan saling menjatuhkan.

Sajak ini juga menunjukkan bahwa para penyair seringkali terlalu membanggakan diri. Mereka seringkali merasa bahwa pendapat merekalah yang paling benar. Hal ini membuat mereka menjadi mudah marah dan mudah tersinggung.

Baca Juga: Bantul Kembangkan Budidaya Lobster di Pesisir Pantai Selatan

Sajak Tugu Tani ini merupakan sebuah kritik yang cerdas terhadap perdebatan-perdebatan yang terjadi di kalangan para penyair. Sajak ini mengingatkan kita bahwa perdebatan yang konstruktif adalah perdebatan yang dilakukan dengan saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. (AI) ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler