Puisi Gus Nas : Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan

28 November 2023, 06:31 WIB
Dalam kotoran pesta politik manusia Tuhan tak pernah cuci tangan /Ilustrasi Pixabay

 


DESK DIY -- Dalam kotoran pesta politik manusia
Tuhan tak pernah cuci tangan

Kudus firmanNya membersihkan kudis-kudis dusta

Saat tangan-tangan koruptor dan pelacur dicuci berkali-kali
Jangan disangka semua dosa terhapus di sidik jari

Rakyat tak mengerti maknanya serakah
Saat keringat mengalir dari ribuan pori-pori
Ia menjadi bagian dari gagahnya perjuangan
Nestapa dan neraka hanya milik orang yang tak percaya putaran takdir

Tuhan tak pernah cuci tangan
270 juta anak-anak bangsa tak akan ditinggal mati oleh NKRI


Gus Nas Jogja, 27 November 2023

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Bayi-Bayi Palestina

Analisis Puisi "Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan"

Puisi "Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan" karya Gus Nas Jogja merupakan sebuah puisi yang bertema kritik sosial.

Puisi ini menggambarkan kondisi politik Indonesia yang kotor dan penuh dengan korupsi.

Namun, di tengah-tengah kondisi tersebut, Tuhan tetap hadir dan mengawasi.

Puisi ini terdiri dari empat bait:

Bait pertama menggambarkan kondisi politik Indonesia yang kotor.

Hal ini digambarkan dengan metafora "kotoran pesta politik manusia".

Bait kedua menggambarkan bahwa Tuhan tidak pernah cuci tangan dalam menghadapi kondisi tersebut.

Hal ini digambarkan dengan metafora "kudus firmanNya membersihkan kudis-kudis dusta".

Bait ketiga menggambarkan bahwa para koruptor dan pelacur tidak akan pernah terbebas dari dosa.

Hal ini digambarkan dengan metafora "walau tangan-tangan koruptor dan pelacur dicuci berkali-kali".

Bait keempat menggambarkan bahwa rakyat Indonesia tidak mengerti maknanya serakah.

Hal ini digambarkan dengan metafora "keringat mengalir dari ribuan pori-pori".

Puisi ini ditutup dengan kalimat "Nestapa dan neraka hanya milik orang yang tak percaya putaran takdirnya".

Kalimat ini bermakna bahwa orang yang tidak percaya pada takdir akan mengalami nestapa dan neraka.

Secara keseluruhan, puisi ini merupakan sebuah puisi yang kuat dan penuh makna.

Puisi ini berhasil menggambarkan kondisi politik Indonesia yang kotor dan penuh dengan korupsi.

Puisi ini juga memberikan pesan bahwa Tuhan tetap hadir dan mengawasi, bahkan di tengah-tengah kondisi tersebut.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Guru

Berikut adalah beberapa interpretasi yang dapat ditarik dari puisi ini:

Interpretasi religius:
Puisi ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kritik terhadap para koruptor dan pelacur yang tidak pernah merasa bersalah atas dosa-dosanya.

Puisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pesan bahwa Tuhan akan selalu mengawasi dan menghukum orang-orang yang berbuat jahat.

Interpretasi sosial:
Puisi ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kritik terhadap kondisi politik Indonesia yang kotor dan penuh dengan korupsi.

Puisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pesan bahwa rakyat Indonesia harus tetap berjuang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bermartabat.

Interpretasi yang tepat dari puisi ini tentu akan tergantung pada latar belakang dan pengalaman pembaca.

Namun, secara umum, puisi ini merupakan sebuah puisi yang kritis dan penuh makna.

Puisi berjudul "Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan" karya Gus Nas Jogja ini merupakan kritik terhadap praktik korupsi dan politisasi agama yang marak terjadi di Indonesia.

Puisi ini terdiri dari dua bait.

Bait pertama menggambarkan betapa kotornya pesta politik manusia.

Para koruptor dan pelacur yang terlibat dalam politik seringkali mencuci tangan mereka untuk menghilangkan jejak dosa mereka.

Namun, Tuhan tidak pernah cuci tangan.

Dia akan tetap melihat dan menghukum mereka atas dosa-dosa mereka.

Bait kedua menggambarkan betapa rakyat Indonesia tidak mengerti maknanya serakah.

Mereka rela bekerja keras dan keringat bercucuran demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.

Mereka tidak akan pernah menyerah pada nasib mereka.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Tulang Belulang Guru

Puisi ini ditutup dengan pernyataan bahwa Tuhan tidak pernah cuci tangan.

Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan selalu hadir dan memperhatikan umatnya.

Dia akan selalu membela kebenaran dan keadilan, termasuk membela rakyat Indonesia dari praktik korupsi dan politisasi agama.

Berikut adalah interpretasi sastra terhadap puisi ini:

Kotoran pesta politik manusia

Kotoran dalam puisi ini dapat diartikan sebagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang marak terjadi di Indonesia.

Praktik-praktik ini membuat politik menjadi kotor dan tidak bersih.

Kudus firmanNya membersihkan kudis-kudis dusta

Firman Tuhan dalam puisi ini dapat diartikan sebagai ajaran agama.

Ajaran agama dapat membersihkan hati manusia dari dosa dan kebohongan.

Walau tangan-tangan koruptor dan pelacur dicuci berkali-kali

Tangan koruptor dan pelacur dalam puisi ini dapat diartikan sebagai para pelaku korupsi dan politisasi agama.

Mereka seringkali mencoba untuk menutupi dosa-dosa mereka dengan berbagai cara, termasuk dengan mencuci tangan mereka secara berkali-kali.

Rakyat tak mengerti maknanya serakah

Rakyat dalam puisi ini dapat diartikan sebagai rakyat Indonesia.

Mereka tidak mengerti maknanya serakah karena mereka hanya ingin hidup dengan adil dan sejahtera.

Nestapa dan neraka hanya milik orang yang tak percaya putaran takdir

Nestapa dan neraka dalam puisi ini dapat diartikan sebagai penderitaan dan hukuman.

Penderitaan dan hukuman hanya akan menimpa orang-orang yang tidak percaya pada putaran takdir.

Tuhan tak pernah cuci tangan

Tuhan dalam puisi ini dapat diartikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Dia selalu hadir dan memperhatikan umatnya. Dia akan selalu membela kebenaran dan keadilan.

270 juta anak-anak bangsa tak akan ditinggal mati oleh NKRI

270 juta anak-anak bangsa dalam puisi ini dapat diartikan sebagai rakyat Indonesia.

Mereka tidak akan pernah menyerah pada nasib mereka.

Mereka akan terus berjuang untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Zikir

Puisi "Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan" merupakan puisi yang penuh makna dan pesan moral.

Puisi ini mengingatkan kita untuk selalu mengingat Tuhan dan ajaran agamanya.

Kita juga harus selalu berjuang untuk kebenaran dan keadilan, termasuk melawan praktik korupsi dan politisasi agama. (AI) ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler