Awalnya, Sultan Agung melaksanakan rencana strategis kerajaan, membangun armada laut dengan membuat galangan kapal di Segara Yasa. Saat memantau kegiatan ini, Sultan Agung melalui rute perjalanan dari Kotagede menuju Ngipik lalu ke selatan menuju Segara Yasa.
Setelah kegiatan memantau pembuatan kapal ini selesai Sultan Agung transit atau Istirahat di Kerto yang merupakan bangunan istana yang strukturnya lengkap, dengan alun-alun, ringin kurung, sitinggil dan Ndalem tempat kediaman.
Baca Juga: Lazismu DIY Menyapa Para Guru
Karena sering pergi ke Kerto, dan pelan-pelan menetap ke Kerto, Kotagede awalnya tetap sebagai ibu kota dan Kerto berfungsi sebagai kota administrasi dan pemerintahan dan kegiatan di Kotagede diserahkan kepada Tumenggung Martapura. Kotagede tidak serta merta surut, bahkan tumbuh menjadi kota perdagangan dan kota usaha kerajinan.
Demikian tambahan penjelasan Ki Herman Sinung Janutama.
Bertahun-tahun Sultan Agung membangun armada laut, nantinya akan ditempatkan di pelabuhan militer di Tegal. Sampai suatu ketika, tahun 1615 Ibukota Kerajaan Mataram Islam pindah ke Kerto yang sekarang bekas peninggalannya masih ada berupa umpak atau tempat memasang soko guru kraton.
Situs sitinggil juga sudah digali dan diidentifikasi oleh Tim dari Dinas Kebudaayaan DIY. Seorang arsitek bernama Ir Eko Suryo Maharso yang melakukan penelitian lapangan kemudian menggambar sket tentang posisi Kraton Kerto lengkap dengan lingkungan Sungai Opak, Sungai Gajah Uwong dan posisi tempuran itu.
Baca Juga: Menag Yaqut Qoumas : Jangan Jadikan Agama sebagai Politik Identitas
Di ibukota baru ini Sutan Agung mengatur pemerintahannya dengan tenang dan menyejahterakan kehidupan masyarakatnya. Sebagaimana disebutkan dalam buku Poros Ulama Mataram Islam karya HM Nasruddin Anshoriy Ch, Kerto dikelilingi desa-desa santri seperti Jejeran, tempat tinggal Kiai Jejer mertua dan guru Sultan Agung, Kanggotan, tempat Ki Ageng Amat Kategan yang menjadi Penghulu Kraton, dan Desa Wonokromo yang menjadi gudang ulama.
Dengan para ulama dari arah timur, Jatinom, Bayat, sampai Ampel dan Giri, juga dengan ulama dari utara seperti Kadilangu dan Kedu. juga dengan ulama dari arah barat dari Petanahan sampai ke Cirebon hubungan Suitan Agung sangat dekat.