Gus Nas : Puisi Kecap

21 Desember 2023, 06:15 WIB
Wahai para politisi karbitan Tenggaklah bait-bait pahit dari kopi hitam puisi ini /Ilustrasi Pixabay


DESK DIY - Bukan karena nomor satu kecap tak pernah punya rasa malu

Rasa hormat pada kecap bukan soal adab atau biadab

Sedih rasanya memuji kecap yang acapkali kadaluwarsa

Sakit rasanya memuja kecap yang tak berhenti menepuk dada

Wahai para politisi karbitan
Tenggaklah bait-bait pahit dari kopi hitam puisi ini

Merdeka!

Gus Nas Jogja, 20 Desember 2023
-------

Tafsir Kontekstual

Puisi ini menggunakan kecap sebagai metafora untuk para politisi.

Kecap merupakan bumbu penyedap yang umum digunakan dalam masakan Indonesia.

Namun, dalam puisi ini, kecap digambarkan sebagai sesuatu yang sudah kadaluwarsa, tidak berguna, dan hanya menepuk dada.

Pada bait pertama, penyair mengatakan bahwa kecap yang nomor satu tidak selalu memiliki rasa malu.

Hal ini dapat diartikan bahwa politisi yang berkuasa tidak selalu memiliki rasa malu untuk melakukan korupsi atau tindakan lain yang merugikan rakyat.

Pada bait kedua, penyair mengatakan bahwa rasa hormat pada kecap bukan soal adab atau biadab.

Hal ini dapat diartikan bahwa rakyat tidak harus menghormati politisi hanya karena mereka berkuasa.

Pada bait ketiga dan keempat, penyair mengungkapkan rasa sedih dan sakitnya memuji atau memuja politisi yang tidak layak.

Hal ini dapat diartikan bahwa rakyat sudah lelah dengan para politisi yang hanya bermodalkan janji manis dan tidak memiliki kinerja yang baik.

Pada bait terakhir, penyair mengajak para politisi untuk merenungkan bait-bait pahit dari puisi ini.

Hal ini dapat diartikan bahwa rakyat sudah mulai bangkit dan tidak akan lagi diam melihat para politisi yang korup dan tidak berpihak pada rakyat.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Bungkam

Kritik Sosial

Puisi "Kecap" karya Gus Nas ini merupakan sebuah kritik sosial yang ditujukan kepada para politisi karbitan.

Puisi ini menggunakan metafora kecap untuk menggambarkan para politisi tersebut.

Bait pertama, penyair mengatakan bahwa kecap yang nomor satu tidak pernah punya rasa malu.

Frasa ini menggambarkan para politisi yang merasa dirinya paling hebat dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.

Bait kedua, penyair mengatakan bahwa rasa hormat pada kecap bukan soal adab atau biadab.

Frasa ini menggambarkan bahwa para politisi tidak pantas untuk dihormati, meskipun mereka memiliki kekuasaan.

Bait ketiga dan keempat, penyair mengungkapkan rasa sedih dan sakitnya memuji dan memuja para politisi yang acapkali kadaluwarsa dan tidak berhenti menepuk dada.

Frasa ini menggambarkan bahwa para politisi tersebut tidak pantas untuk dipuji dan dipuja, karena mereka tidak memiliki kualitas yang baik.

Bait terakhir, penyair menantang para politisi karbitan untuk meminum bait-bait pahit dari kopi hitam puisi ini.

Frasa ini menggambarkan bahwa puisi ini merupakan kritik yang pedas dan menyakitkan bagi para politisi tersebut.

Puisi "Kecap" merupakan sebuah karya yang berani dan kritis.

Puisi ini dapat menjadi sarana untuk menyadarkan masyarakat akan bahayanya para politisi, khususnya politisi karbitan.

Baca Juga: Ketua Fraksi PAN DPR Klarifikasi Video Guyonan Zulkifli Hasan

Kesimpulan

Puisi ini merupakan kritik sosial yang menyindir para politisi yang hanya bermodalkan popularitas dan kekuasaan.

Puisi ini dibuka dengan kalimat "Bukan karena nomor satu kecap tak pernah punya rasa malu" yang menunjukkan bahwa kecap yang nomor satu bukanlah jaminan bahwa kecap tersebut berkualitas.

Hal ini juga berlaku bagi para politisi.

Hanya karena memiliki popularitas dan kekuasaan, bukan berarti mereka sudah pantas untuk dihormati.

Dalam bait kedua, puisi ini menegaskan bahwa rasa hormat pada kecap bukan soal adab atau biadab.

Artinya, rasa hormat pada kecap haruslah berdasarkan kualitas dan kinerjanya, bukan hanya karena popularitas atau kekuasaannya.

Dalam bait ketiga dan keempat, puisi ini menggambarkan rasa sedih dan sakit hati yang dirasakan oleh rakyat karena harus memuji dan memuja para politisi yang tidak berkualitas.

Para politisi ini sering kali hanya menepuk dada dan mengaku bahwa merekalah yang terbaik, padahal kenyataannya mereka tidak memiliki kinerja yang baik.

Pada bait terakhir, puisi ini menyindir para politisi karbitan dengan mengajak mereka untuk meminum bait-bait pahit dari kopi hitam puisi ini.

Kopi hitam yang pahit melambangkan realitas pahit yang harus dihadapi oleh rakyat karena ulah para politisi yang tidak berkualitas.

Puisi ini merupakan sebuah kritik sosial yang tajam dan berani.

Puisi ini berhasil menyampaikan pesannya dengan lugas dan jelas.

Penggunaan metafora kecap sebagai simbol para politisi juga sangat tepat dan efektif. ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler