Hukum Musik dalam Ta'wil Alquran

- 16 Mei 2024, 19:29 WIB
KH Imam Jazuli
KH Imam Jazuli /Foto : istimewa

Dalam ayat ke-221, dikatakan bahwa setan-setan akan turun merasuki jiwa orang-orang tertentu, mengajak manusia ke dalam kesesatan. Dalam ayat ke-222, dijelaskan bahwa orang-orang yang terpedaya oleh bujuk rayu setan ini adalah mereka yang suka berdusta dan berbuat dosa. Ayat ke-222 ini berkorelasi dengan ayat ke-226 tentang orang yang ucapannya berbeda dari perbuatannya.

Selanjutnya, dalam ayat ke-223 Allah SWT menjelaskan perilaku para pendusta ini. Mereka menyampaikan segala hal yang bisa didengar oleh orang lain, namun substansi dari kata-kata mereka adalah kebohongan belaka. Di sinilah (dari ayat ke-221 sampai ke-223), telah lengkap ciri-ciri para penyair yang dimurkai oleh Allah SWT.

Lantas, bagaimana UAH bisa memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut di atas sebagai penjelasan menyangkut musik dan musisi? Sebelum menjawabnya, penting memahami konteks pandangan UAH tersebut dan apa hakikat musik.

Baca Juga: PPIH : Jamaah Asal Garut Meninggal Dunia akan Dibadalhajikan

Dalam kitab Al-Musiqo Al-Kubro, Abu Nashr Al-Farabi menulis teori musik secara lengkap.  Dalam kitab tersebut dijelaskan definisi musik.  Menurut Al-Farabi, musik adalah "al-Lahnu" (plural: Al-Alhan) atau "Al-Naghmu". Baik istilah al-Lahnu maupun Al-Naghmu, arti keduanya sama saja.

Menurut Al-Farabi, musik adalah "naghmun mukhtalifatun ruttibat tartiban mahdudan" (nada suara yang berbeda-beda yang disusun dengan teliti). Terkadang, nada suara tersebut disertai oleh beberapa kata-kata dengan makna-makna tertentu (hlm. 47).

Dengan begitu, musik cukup berupa suara yang memiliki nada teratur rapi, walaupun tanpa lirik lagu. Namun, musik juga bisa berupa gabungan antara nada suara dan lirik lagu. Dalam konteks yang terakhir inilah, penjelasan UAH bisa dibenarkan, di mana syair (kumpulan kata-kata bermakna khusus) diiringi dengan nada suara.

Baca Juga: Respons Jamaah Haji Tentang Layanan Fast Track. Alhamdulillah Cepat

Namun juga perlu dicatat bahwa musik tidak harus berupa gabungan nada suara dan lirik lagu (syair). Tanpa lirik lagu sekalipun, musik sudah cukup dengan adanya bunyi suara yang bernada dan berirama. Karenanya, Al-Farabi mengatakan: "naghmun tusma'u min haitsu kanat wa fi ayyi jismin kanat" (suara yang bisa didengar dari arah manapun dan pada benda apapun).

Artinya, selama suara itu bernada dan berirama, walaupun berupa kicauan burung-burung, deburan ombak di pantai, gesekan ranting-ranting pohon, bisa disebut musik. Musisi tidak harus manusia yang berakal, makhluk apapun selain manusia bisa menciptakan musik. Dari sini lahir istilah "musik kehidupan".

Halaman:

Editor: Chaidir


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah