Hukum Musik dalam Ta'wil Alquran

- 16 Mei 2024, 19:29 WIB
KH Imam Jazuli
KH Imam Jazuli /Foto : istimewa

Ayat-ayat Alquran (221-226) dalam Surat Asy-Syu'ara adalah bukti mengenai orang-orang yang memanfaatkan musik dengan cara menyelipkan syair-syair yang mengandung dusta dan kesesatan. Tapi, pada ayat ke-227, ada juga sekumpulan orang yang memanfaatkan musik dengan cara menyelipkan syair-syair yang mengandung kebaikan. 

Baca Juga: Tak Perlu Daftar Lewat Aplikasi Nusuk, Jamaah Bisa Masuk Raudhan dengan Tasrih

Dengan kata lain, ayat-ayat Asy-Syu'ara di atas bukan sepenuhnya membahas musik murni, melainkan membahas para penyair yang memanfaatkan musik dengan cara-cara berbeda. Sedangkan musik murni, yang berarti sepenuhnya nada suara tanpa lirik-lirik lagu atau bait-bait syair, bukan pokok persoalan utama Asy-Syu'ara.

Ayat Alquran yang sepenuhnya membahas musik sebagai nada suara adalah ayat ke-4 surat Al-Muzzammil. Allah SWT berfirman: "wa rattilil qurana tartila" (bacalah Alquran dengan Tartil). Kata "Tartil" bisa diartikan nada suara yang rendah dan perlahan-lahan. Atau, nada suara yang indah.

Berdasarkan ayat ke-4 Al-Muzzammil ini, kita tahu bahwa "bermusik" adalah perintah wajib dari Allah SWT. Mengapa wajib? Karena kata-kata yang disandingkan dengan nada suara sudah tidak bermasalah; bukan kata-kata penyair yang sesat melainkan firman Allah SWT itu. Jadi, jika musik diartikan sebagai gabungan nada suara dan kata-kata bermakna tertentu, maka ayat ke-4 Al-Muzzammil adalah perintah bermusik.

Baca Juga: Peduli Korban Banjir dan Tanah Longsor di Kabupaten Luwu, LPS Serahkan Bantuan

Penulis menyimpulkan, musik bisa datang dari siapa saja, baik manusia atau selain manusia. Jika musik itu ciptaan alam, bukan manusia, maka boleh mendengarnya. Jika musik itu ciptaan manusia, maka harus diperhatikan: apakah disertai kata-kata kebenaran atau kata-kata kebohongan. Jika berisi kata-kata kebenaran seperti ayat-ayat Alquran, maka bermusik adalah wajib (QS. Al-Muzzammil: 4). Jika berisi kata-kata dusta, maka bermusik adalah haram (QS. Asy-Syu'ara: 221-226).

Karena itu menurut Imam Al-Ghazali mengenai permasalahan syair, lagu atau musik secara dzati (otonom) tidak ditemukan satupun nash yang menjelaskan bahwa musik itu haram. Nash yang mengharamkan tersebut apabila suatu musik dan nyanyian itu jika dibarengi dengan amr kharij (sesuatu di luar dari musik) yaitu suatu kemaksiatan. Misalnya perzinaan, melalaikan kewajiban, perjudian, dan minum-minuman keras. 

 (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, h. 268).

Masih menurut Ghazali, "Abu Thalib al-Makki mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat 'Abdullah bin Ja'far, 'Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa mendengarkan nyanyian, lagu atau sebagaimana yang sering orang melakukan secara normal itu hukumnya mubah atau diperbolehkan. Namun, pada kondisi tertentu bisa menjadi haram.

Halaman:

Editor: Chaidir


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah