Inflasi Hijau Muncul Saat Menerapkan Teknologi yang Ramah Lingkungan

24 Januari 2024, 02:41 WIB
Fenomena inflasi hijau muncul ketika menerapkan teknologi yang ramah lingkungan /Ilustrasi : dok.

DESK DIY - Fenomena inflasi hijau muncul ketika banyak negara, baik pemerintah maupun dunia usahanya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, khususnya dan ekonomi hijau pada umumnya.

Secara sederhana inflasi hijau adalah inflasi kenaikan bahan-bahan logam dasar dan mineral yang diperlukan untuk menggunakan teknologi yang hijau atau ramah lingkungan terutama saat masa transisi.

Hal itu dikatakan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Prof Dr Nugroho SBM dalam keterangan tertulisnya, Selasa 23 Januari 2024.

Baca Juga: JNE Raih Dua Penghargaan di Ajang The 4th Annual Infobrand.id Summit 2024

Menurut Nugroho, ada beberapa logam dasar dan mineral yang diperlukan untuk penggunaan teknologi antara lain tembaga, litium, dan kobalt. Kebutuhan logam dasar dan mineral untuk teknologi ramah lingkungan ini lebih besar dari kebutuhan untuk teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Beberapa contoh, lanjut Nugroho, kendaraan listrik menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibanding kendaraan konvensional. Pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan tembaga tujuh kali lebih besar dibanding pembangit listrik tenaga gas.

Harga beberapa logam dasar dan mineral yang diperlukan mengalami kenaikan yang tinggi karena kebutuhan yang besar tidak diimbangi pertambahan pasokan atau suplai yang mencukupi.

Baca Juga: Izin Acara Desak Anies di Museum Diponegoro Mendadak Dibatalkan

Untuk menambah pasokan dengan mengembangkan tambang baru dibutuhkan waktu lima tahun hingga 10 tahun. Contoh kenaikan harga bahan logam yang tinggi sekali terjadi pada litium. Harga litium naik 1.000 persen dari tahun 2020 hingga 2022.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Menurut Nugroho, tsmpaknya untuk Indonesia greenflation belum terjadi karena penggunaan teknologi hijau atau teknologi ramah lingkungan belum masif atau terjadi secara besar-besaran. Namun, ada baiknya memang greenflation perlu diantisipasi ke depannya karena mau tidak mau teknologi hijau atau ramah lingkungan akan makin masif diterapkan di Indonesia.

Cara mengantisipsi supaya tidak terjadi inflasi hijau di Indonesia adalah dengan mempercepat program hilirisasi hasil tambang di Indonesia. Dengan mempercepat program hilirisasi tambang, maka akan menambah stok atau suplai hasil tambang dan bahan logam yang diperlukan untuk penerapan teknologi hijau atau ramah lingkungan sehingga tidak terjadi inflasi hijau di Indonesia nantinya.

Baca Juga: Izin Acara Desak Anies di Museum Diponegoro Mendadak Dibatalkan

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya berbagai pihak untuk mendorong dan mempercepat program hilirisasi. Salah satunya yang sudah dilakukan dan patut dihargai adalah upaya Bank Indonesia (BI) untuk memberikan insentif likuiditas makroprudensial bagi bank yang memberikan kredit bagi usaha yang menggarap hilirisasi mineral dan pertambangan.

Insentif itu antara lain pengurangan dana wajib untuk giro wajib minimum dan dana wajib penyangga atau cadangan modal bagi bank yang menyalurkan kredit bagi perusahaan yang melakukan usaha hilirisasi mineral dan pertambangan.

Dikatakan, penjelasan tentang Green Inflation dengan demo Rompi Kuning di Perancis sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali. Demo Rompi Kuning di Prancis itu bukan kasus greenflation tapi greedflation.

Baca Juga: Arnanto Nurprabowo : Food Estate Solusi Kedaulatan dan Kemandirian Pangan RI

Greedflation itu adalah kejadian yg terjadi di Eropa (termasuk Prancis) yang diakibatkan oleh Pemerintah yang tidak mampu menyelesaikan masalah Inflasi disana tetapi malah terkesan serakah/greed dgn menaikkan pajak BBM yang mengakibatkan daya beli rakyat kecil disana semakin berat. ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler