Fiqih Siyasah Turos untuk Bekal Ideologi Politik Santri

- 16 Juli 2023, 10:44 WIB
Acara Halaqoh Pendidikan Politik Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah
Acara Halaqoh Pendidikan Politik Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah /Foto : Istimewa

DESK DIY, Bantul -- Acara Halaqoh Pendidikan Politik Santri yang diadakan Pesantren Kreatif Baitul Kilmah kerjasama dengan LPP DPP PKB digelar di Pendopo Baitul Kilmah, Sabtu (15 Juli 23).

Acara menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan praktisi dan cendekiawan pesantren seperti KH Yusuf Chudlori, Bupati Bantul Abdul Halim Muslih MA, Gus Dr Muhammad Nur Hayyid, Dr, KH Jazilul Fawaid dan Aslam Ridlo MA.

Acara tersebut diikuti sekitar 300 peserta, yang terdiri dari utusan pesantren se-DiY, kemudian calon legeslatif dari PKB se-DIY, utusan PMII Cabang sampai Komisariat, juga utusan dari MWCNU se-DIY.

Baca Juga: Rumput Tetangga Lebih Hijau

Menurut Dr KH Aguk Irawan Lc MA, selaku tuan rumah dan pemateri untuk turos fiqih siyasah, acara ini diadakan selain sebagai pendidikan politik santri juga dilatar belakangi stigma negatif pada politik.

"Karena di lapangan, politik sering dipraktikkan dan diartikan secara sempit, yaitu sebatas kursi kekuasaan dan imbasnya kekayaan, bukan kebijakan, keberpihakan dan kemaslahatan ammah. Padahal pesantren punya ideologi yang kuat dalam berpolitik yaitu fiqih siyasah." kata Dr Aguk.

Aguk menjelaskan, lahirnya suatu peradaban tidak lain karena sebuah pemerintahan yang kuat, karena disana ada ulama yang membimbing umara, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kitab-kitab fiqih siyasanya.

"Jadi peradaban itu jelas produk politik," ujar Aguk.

Baca Juga: Dua Balita dan Pasangan Suami Istri Meninggal Akibat Banjir Bandang Sumbar

Menurutnya, pada kejayaan Islam era Abbasiyah (golden age) misalnya disana ditemukan kitab fiqih turos yang berlimpah, ada ratusan, beberapa yang disebut, seperti Kitab Ahkamul Sultoniyah, Qowanin Al-Wizarah karya Imam Al-Mawardi, atau fiquh Siyasah Syar'iyah karya Abdul Halim bin Abdusslam atau pada dinasti Saljuk ada Kitab Tibru Masbuk karya Imam Ghazali, pada era Dinasti Fatimiyah ada kitab Minhajul Masluk karya Abdurahman Siroji.

Begitu juga ketika lahirnya peradaban islam di Nusantara, pada Kerajaan Islam Pasai, disana ada Kitab Tajjusalatin, Kerajaan Islam Demak ada Serat Surya Ngalam. Kerajaan Islam Pajang dan Mataram ada Serat Surya Raja dan lain sebagainya.

Kitab-kitab Fiquih Siyasi tersebut, menurutnya, sudah dengan detail memberikan arahan bagaimana seharusnya pemimpin dipilih dan diberhentikan oleh ahlu hal wal aqdi atau para wali, serta panduan pembagian kekuasaan dari tingkat atas sampai bawah dengan istilah-istilah nizam bilad, jihad, ahkam, iqtisad sampai 'uqubat yang semua itu demi kemaslahatan rakyat, yaitu tegaknya keadilan, terwujudnya kedamaian, terjaminnya akses pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Baca Juga: Laporan Lengkap yang Diterima BNPB Terkait Banjir Besar dan Longsor di Sumatera Barat

Ia mengajak agar santri tidak hanya "melek" politik, tapi juga menyadari sepenuhnya bahwa politik sangat penting, sehingga santri mau melibatkan diri secara aktif.

Secara terpisah, ketika ditanya secara khusus, kenapa Kiai Aguk sekarang nampak semangat berpolitik, ia menjawab dengan mengutip pendapat Imam Al-Ghazali, "Siyasah wa addin tau-amani mislu akhowain waladan min bathni wahidin; politik dan agama itu seperti saudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama, maka merawat agama tanpa merawat politik, itu suatu kelaliman..."

Sementara Abdul Halim Muslih, Bupati Bantul, mengutip ayat 104 Surat Ali Imran. Menurut pemahamannya satu ayat Al Qur'an tersebut menyimpan tiga gagasan besar sebagaimana konsep Trias Politica.

Baca Juga: Ciptakan Kondusivitas Jelang Pemilu 2024, Bankesbangpol Yogya Gelar Pertemuan Antaretnis

"Yad-'una Ilal khoril menggambarkan fungsi legislatif, wa ya'muruna bil ma'ruf menggambarkan fungsi eksekutif, dan wa yanhawna 'anil mungkar menggambarkan fungsi yudikatif." ujarnya 

Dengan landasan ayat tersebut, Abdul Halim menarik kesimpulan, "Trias politica adalah konsep yang terlambat, karena Nabi SAW sudah lebih awal mengajarkan substansi gagasan yang sama."

Sementara itu Kiai Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) menegaskan "Berpolitik tidak mesti hukumnya fardu kifayah, jika sangat minim orang amanah di eksekutif, legislatif dan yudikatif itu bisa berubah menjadi fardu ain, karena ushul fiqh punya prinsip, la yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajibun, kewajiban tak akan sempurna tanpa sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula." Tegasnya.

Baca Juga: Ramavito Mountaino : Gig Economy Dukung Fleksibilitas dalam Cost Perusahaan

Gus Yusuf kembali menambahkan soal status dan posisi politik dalam agama. Menurutnya, "as-Siyasatu juzun min ajzais syariah" (politik adalah satu bagian dari syariah). Tentang tujuan politik sebagai syariat menurut Gus Yusuf adalah "Li istishlahil ummah" (memperbaiki kondisi dan nasib umat).

Sementara menurut Gus Nur Hayyid mengatakan, bila politik adalah ibadah, maka menang ataupun kalah sama-sama baik. "Jika menang kita bersyukur, dan jika kalah kita harus bersabar. Dua-duanya sama-sama baik."

Dalam masalah pendanaan politik, Gus Nur Hayyid menegaskan bahwa dana politik itu harus dipahami sebagai sedekah. Karena sedekah, maka pasti berpahala.

Baca Juga: Umroh Gratis dari PT KAI, Begini Cara Mendapatkannya

"Para politisi tidak perlu risau dengan harta sedekah yang dikeluarkannya dalam perjuangan."

Sedangkan Aslam Ridho berpendapat, turots pesantren menyimpan term-term politik yang sangat berlimpah. Khazanah itu harus ditransformasikan oleh santri.

Aslam Ridho mengatakan, transformasi pemikiran santri mulai diarahkan untuk menciptakan rumusan-rumusan yang menyangkut urusan kebangsaan dan kenegaraan.

Ketika santri sudah matang dengan pemikiran kebangsaan dan kenegaraan yang mau diusung, menurut Aslam Ridho, sudah ada amanat undang-undang partai politik yang mendorong pembangunan relasi antara politisi dan masyarakat, dalam hal ini santri.

Baca Juga: Sultan HB X Minta Semua yang Terlibat Mafia Tanah Kas Desa Harus Diperiksa

"Partai politik akan jemput bola, menjaring aspirasi kaum santri," ujarnya.

Pemateri berikutnya, Dr KH Jazilul Fawaid yang menggambarkan bahwa politik praktis bukanlah pasar sebagaimana dipahami secara negatif oleh masyarakat selama ini. Menurut Jazilul Fawaid, politik adalah medan pertukaran gagasan."

Menurut Jazilul Fawaid, nasionalisme lahir dari pesantren. Politik di pesantren dipahami sebagai bentuk amar ma'ruf nahi mungkar. Karena politik adalah amar ma'ruf nahi mungkar, maka politik adalah bagian dari agama.

Baca Juga: Sekretaris MA Hasbi Hasan Ditahan KPK. Terkait Dugaan Terima Suap Rp 3 Miliar

"Kemudian Jazilul Fawaid, menutup dengan mengisahkan politik praktis yang dilakukan oleh Walisongo. "Walisongo berdakwah kepada raja-raja, dan Walisongo juga menciptakan raja-raja (seperti Raden Fatah)," ujarnya. ***

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah