Indikator Kemiskinan Internasional Tidak Cocok Bagi Yogyakarta

- 7 Oktober 2023, 13:37 WIB
Seminar Nasional Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Widya Mataram
Seminar Nasional Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Widya Mataram /Foto : Istimewa

DESK DIY -- Yogyakarta selalu berstatus kemiskinannya di atas rata-rata nasional. Kondisi demikian kontras dengan indek kebahagian dan kebahagian warga yang sangat fantastis.

Perencana di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) M Taufiq AR SIP MPA menyatakan, indikator-indikator kemiskinan itu mengacu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs/Sustainable Development Goals).

Konsep dan indikator kemiskinan dan 16 problem program pembangunan lainnya digagas dan dilaksanakan 190 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2015, cenderung tidak cocok dengan kondisi dan tradisi masyarakat daerah ini.

Baca Juga: Yogyakarta Punya Kampung Berkah. Atasi Kemiskinan dengan Kelola Zakat Secara Tepat

Warga pedesaan di Yogyakarta merasa tidak miskin ketika mereka mencukupi kebutuhan sehari-hari dari hasil berkebun seperti sayur dari sawah/kebun, telur dari ternak ayam sendiri, beras panen dari sawah.

“Warga di desa-desa merasa cukup apabila mereka bisa makan dari bahan-baku yang dihasilkan sendiri. Kategori cukup bagi mereka tidak miskin, tetapi itu bagi pemerintah maupun PBB dikategorikan miskin. Moralitas menerima keadaan tidak masuk (nrimo ing pandum) dalam indikator anti kemiskinan formal.”

Kenyataannya, sikap warga tersebut bersesuaian dengan indek kebahagiaan. Badan Statistik Nasional menunjukkan angka kebahagiaan DIY mencapai 71,70,  berada di atas nasional (71,49) pada 2021. Kemudian indek harapan hidup pada level 75,04 tahun, ini juga peringkat tertinggi secara nasional dengan rata-rata 71,91.

Baca Juga: Kemiskinan Ekstrem Masih Menghantui Banyak Negara

Problemnya angka kemiskinan DIY, misalnya rata-rata rumah tangga miskin  pada Maret 2023 mencapai 4,32 orang anggota rumah tangga. Garis kemiskinan mencapai Rp2.475.455,00/rumah tangga/bulan. Sedang rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang, garis kemiskinannya sebesar Rp 2.592.657/rumah tangga miskin/bulan. 

“Munculnya angka-angka kemiskinan itu, menempatkan warga Yogyakarta tertinggi angka kemiskinanya di Jawa.”

Taufiq menyatakan konsep pembangunan berjelanjutan yang digagas PBB memiliki kelemahan. Dalam mengatasi berbagai masalah di negara-negara anggota PBB, konsep pembangunan berkelanjutan itu memiliki sejumlah kelemahan.

Baca Juga: Pemda Wajib Lakukan Pemutakhiran Data Kemiskinan

“Konsep pembangunan dunia itu tidak mengatasi akar masalah, hanya dampak dari masalah termasuk dalam persoalan kemiskinan. Maka sifat universalitasnya yang tidak memadai. Buktinya, model pembangunan berkelanjutan tidak bisa menjadi strategi mengatasi ketidaksetaraan.”

Pendapatnya disampaikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Seminar sebagai rangkaian kegiatan Dies Natalis UWM ke-41, dibuka oleh Rektor UWM Prof Dr Edy Suandi Hamid, sementara seminar dipandu oleh dosen Program Studi Sosiologi Fisipol UWM, Kamis 5 Oktober 2023.

Pandangan Progresif

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (UWM) Dr As Martadani Noor menyatakan, respons Masyarakat Yogyakarta sangat positif terhadap program-program pembangunan berkelanjutan. Makin tinggi tingkat pendidikannya, warga makin memahami dan merespon positif pembangunan berkelanjutan.

Baca Juga: Pak Bei Obrolkan Kemiskinan Ekstrem di Desanya

“Masyarakat Yogyakarta memiliki pandangan yang progresif terhadap pembangunan berkelanjutan, dan berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya di daerahnya.”

Menurutnya, masyarakat aktif dalam melakukan aksi-aksi penghijauan, kampanye pengurangan penggunaan plastik, dan pengelolaan sampah yang baik.

“Tantangannya, masalah kebijakan dan regulasi dari pemerintah yang kurang jelas, menjadi hambatan dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah ini.”

Baca Juga: Pakai QRIS dan Ada LPS. Usaha Lancar, Menabung Terasa Aman dan Nyaman

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi, Sosial, dan Budaya Dr Masduki MSi menyatakan, problem-problem dampak pembangunan berkelanjutan idealnya bisa diurai dan dijembatani oleh digitalisasi teknologi informasi pembangunan.
Harapan itu bertepuk sebelah tangan karena platform-platform digital di Indonesia cenderung miskin informasi dan  tak berbudaya.

Pemiliknya segelintir kapitalis nasional dan internasional. Mereka tidak hanya memproduksi informasi melalui media online dan media sosial, juga menggembangkan berbagai platform, seperti platform bisnis dan mengelola perdagangan online di dalamya.

Para pemodal tersebut berpikir soal bisnis dan akumulasi modal, sebaliknya mereka tidak peduli atau tidak bertanggungjawab terhadap problem-problem efek digitalisasi platform.

Baca Juga: Catat, Ini Cara Mengatasi Gagal Isi Token Listrik

“Mereka mengoperasikan platform informasi maupun bisnis serta media di dalamnya mengacu pada selera pasar dan bisnis, bukan mengantisipasi bagaimana dampak sosial dari platform yang mereka keloloa.”***

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah