Puisi Gus Nas : Etika Tak Punya KTP

- 18 Desember 2023, 05:46 WIB
Ternyata surga tak punya KTP Pun etika dan kata-kata.
Ternyata surga tak punya KTP Pun etika dan kata-kata. /Ilustrasi Pixabay

Merdu sekali angin surga berhembus

Menggelinjang dari ketiak ke ketiak

Terbangun dari tidur panjang
Aku kesiangan menyaksikan pahlawan gadungan

Ternyata surga tak punya KTP
Pun etika dan kata-kata

Sudah sebagong inikah cara untuk menjadi penguasa?


Gus Nas Jogja, 17 Desember 2023
-------

Kritik Sosial yang Substansial

Dalam puisi "Etika Tak Punya KTP?", Gus Nas menggambarkan situasi sosial-politik di Indonesia yang sedang mengalami krisis etika.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Sajak Tentang Desa

Hal ini digambarkan melalui metafora "angin surga" yang berhembus "dari ketiak ke ketiak".

Angin surga dalam konteks ini dapat diartikan sebagai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Namun, nilai-nilai ini tidak lagi dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Gus Nas kemudian menggambarkan bagaimana masyarakat menjadi acuh tak acuh terhadap krisis etika ini.

Mereka lebih memilih untuk tidur panjang dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Hal ini digambarkan melalui frasa "terbangun dari tidur panjang" dan "kesiangan menyaksikan pahlawan gadungan".

Pada bait terakhir, Gus Nas mempertanyakan moralitas para penguasa. Ia bertanya-tanya apakah ini cara yang pantas untuk menjadi penguasa.

Gus Nas menyiratkan bahwa para penguasa telah kehilangan etika dan moralitas mereka.

Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Tupai

Puisi ini merupakan kritik terhadap krisis etika yang sedang terjadi di Indonesia.

Gus Nas mengajak masyarakat untuk menyadari pentingnya etika dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Berikut adalah beberapa interpretasi lain dari puisi ini:

1. Puisi ini memberikan artikulasi kritik yang tajam pada para Capres yang hanya sibuk memoles kata dan beretorika penuh busa-busa tanpa memahami derita dan lara di masyarakat.

Para Capres melakukan debat dengan data-data palsu dan manipulatif, lebih mementingkan hiasan di bibir daripada persoalan keadilan sosial dan prinsip dasar kebangsaan.

2. Puisi ini juga dapat diartikan sebagai kritik terhadap masyarakat yang semakin individualis dan hedonis.

Masyarakat lebih mementingkan kesenangan pribadi daripada kepentingan bersama.

3. Puisi ini juga dapat diartikan sebagai kritik terhadap media massa yang sering kali memberitakan hal-hal yang tidak penting dan tidak mendidik.

Media massa seharusnya berperan sebagai agen moralitas yang dapat mengedukasi masyarakat.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Arang dan Abu Menabur Angin

Terlepas dari interpretasi yang berbeda-beda, puisi ini tetaplah merupakan karya sastra yang patut diacungi jempol.

Gus Nas telah berhasil menggambarkan situasi sosial-politik di Indonesia dengan cara yang puitis dan menarik. (AI) ***

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x