Puisi Gus Nas : Makelar Suara

- 7 Desember 2023, 08:14 WIB
Di ketiak demokrasi, bau busuk menendang hidung  Seperti lalu-lalang uang di restoran cepat saji, aku menyaksikan angka-angka di kotak suara.
Di ketiak demokrasi, bau busuk menendang hidung Seperti lalu-lalang uang di restoran cepat saji, aku menyaksikan angka-angka di kotak suara. /Ilustrasi Pixabay/Prawny

Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, justru menjadi ajang transaksi jual-beli suara.

Dalam puisi ini, penyair menggunakan metafora "ketiak demokrasi" untuk menggambarkan sisi gelap demokrasi yang penuh dengan korupsi dan manipulasi.

Bau busuk yang menendang hidung menggambarkan betapa busuknya praktik politik yang terjadi di Indonesia.

Angka-angka di kotak suara yang disaksikan penyair seperti lalu-lalang uang di restoran cepat saji.

Diksi ini menggambarkan betapa politik di Indonesia sudah dikuasai oleh kepentingan ekonomi.

Pertanyaan penyair kepada pialang politik tentang omset suara dan inflasi harga diri mencerminkan kegelisahan penyair terhadap kondisi demokrasi di Indonesia.

Di persimpangan jalan dan batu-batu terjal demokrasi, hiruk-pikuk kampanye menghentikan laju akal-budi dan derap kaki kewarasanku.

Diksi ini menggambarkan betapa kampanye politik di Indonesia sudah tidak lagi berorientasi pada penyampaian visi-misi dan gagasan, melainkan hanya untuk mendulang suara.

Kedaulatan setengah hati, subsidi menjadi komoditas, rakyat termangu menyaksikan transaksi harga diri dan politik abal-abal berbiaya tinggi. Ini menggambarkan betapa rakyat Indonesia sudah tidak lagi memiliki kedaulatan dalam menentukan pemimpinnya.

Di akhir puisi, penyair mempertanyakan apakah masih adakah akal rebus, puisi pahit, dan ibadah cinta di Indonesia.

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x