Puisi Gus Nas : Tulang Belulang Guru

26 November 2023, 04:15 WIB
Sosok seorang guru sejati, Ki Hadjar Dewantoro. /Foto : istimewa

DESK DIY -- Tulang belulang guru itu menumpuk dalam kamus lukaku
Papan tulis bergambar daging, susu dan lauk-pauk lima sempurna

Kusemogakan dalam doa-doaku agar guru-guru di Tanah Air segera merdeka
Terbebas dari kurikulum coba-coba samarata miskin dan kaya

Sesudah Tut Wuri Handayani membersamai silang-sengkarut transaksi
Ki Hadjar Dewantoro dihadirkan kembali di alam mimpi

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Bola di Kaki Jokowi

Di panggung politik negeri ini, akal budi dianggap sunyi
Guru-guru kencing sembari berlari, murid-murid belajar matrikulasi biang kerok ejakulasi dini

Dimanakah pelita kegelapan itu kini, prasasti pencerah tanpa tanda jasa yang menunggu marwah kemanusiaan?


Gus Nas Jogja, 25 November 2023
------

Renungan Bersama di Hari Guru

Tulang belulang guru itu menumpuk dalam kamus lukaku

Papan tulis bergambar daging, susu dan lauk-pauk lima sempurna

Puisi berjudul "Tulang Belulang Guru" karya Gus Nas Jogja ini menggambarkan nasib guru di Indonesia masih memprihatinkan.

Guru-guru digambarkan sebagai sosok yang menderita, dengan tulang belulang yang menumpuk dalam kamus luka.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Zikir

Hal ini menunjukkan bahwa guru-guru telah mengalami banyak kesulitan dan penderitaan dalam menjalankan tugasnya.

Kusemogakan dalam doa-doaku agar guru-guru di Tanah Air segera merdeka

Terbebas dari kurikulum coba-coba samarata miskin dan kaya

Guru-guru di Indonesia juga masih harus menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kurikulum yang terlalu menekankan pada aspek materi, membuat guru-guru harus bekerja keras untuk memenuhi tuntutan kurikulum.

Hal ini tentunya sangat membebani guru, terlebih bagi guru-guru yang berstatus honorer.

Sesudah Tut Wuri Handayani membersamai silang-sengkarut transaksi

Ki Hadjar Dewantoro dihadirkan kembali di alam mimpi

Padahal, Ki Hadjar Dewantoro, sang penggagas pendidikan nasional, telah mengajarkan bahwa pendidikan haruslah berpusat pada peserta didik.

Namun, pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Pendidikan masih dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Hal ini membuat guru-guru harus berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Tabut Sulaiman

Di panggung politik negeri ini, akal budi dianggap sunyi

Guru-guru kencing sembari berlari, murid-murid belajar matrikulasi biang kerok ejakulasi dini

Pemerintah juga belum sepenuhnya memperhatikan nasib guru-guru di Indonesia.

Guru-guru masih sering diabaikan, bahkan dianggap sebagai sosok yang tidak penting. Hal ini membuat guru-guru semakin terpuruk.

Dimanakah pelita kegelapan itu kini, prasasti pencerah tanpa tanda jasa yang menunggu marwah kemanusiaan?

Puisi ini ditutup dengan pertanyaan yang menyindir pemerintah.

Di manakah guru-guru yang seharusnya menjadi pelita kegelapan?

Di manakah guru-guru yang seharusnya menjadi pencerah bagi generasi muda?

Guru-guru yang seharusnya mendapatkan penghargaan dan apresiasi atas jasa-jasanya.

Puisi ini merupakan kritik terhadap pemerintah dan masyarakat atas nasib guru-guru di Indonesia.

Guru-guru adalah sosok yang sangat penting bagi kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus memperhatikan nasib guru-guru dan memberikan kesejahteraan yang layak bagi mereka.

Kritik Substansial

Puisi "Tulang Belulang Guru" karya Gus Nas Jogja merupakan kritik sosial yang tajam terhadap nasib guru di Indonesia.

Puisi ini menggambarkan nasib guru yang memprihatinkan, baik dari segi kesejahteraan maupun apresiasi.

Dalam bait pertama, penyair menggambarkan nasib guru yang terlunta-lunta. Ia menyamakan guru dengan tulang belulang yang menumpuk dalam kamus luka.

Hal ini menunjukkan bahwa nasib guru telah menjadi masalah yang sangat serius dan perlu segera diatasi.

Dalam bait kedua, penyair mengungkapkan harapannya agar guru-guru di Indonesia segera merdeka.

Penyair ingin guru-guru terbebas dari kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraan yang layak.

Dalam bait ketiga, penyair menyindir kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak lagi berorientasi pada kualitas pendidikan, melainkan hanya sekadar memenuhi standar.

Hal ini membuat guru-guru harus bekerja keras untuk mengejar target yang tidak realistis.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Pengantin Palestina

Dalam bait keempat, penyair menggambarkan bahwa pendidikan di Indonesia telah kehilangan nilai-nilai humanis.

Akal budi dianggap tidak penting, sehingga guru-guru dan murid-murid hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan yang pragmatis.

Dalam bait kelima, penyair mempertanyakan nasib guru di Indonesia. Ia bertanya, di manakah pelita kegelapan itu kini?

Hal ini menunjukkan bahwa penyair prihatin dengan nasib guru yang telah menjadi korban sistem pendidikan yang tidak adil.

Puisi "Tulang Belulang Guru" merupakan sebuah karya yang penting untuk disimak.

Puisi ini memberikan gambaran yang realistis tentang nasib guru di Indonesia, sekaligus mengajak kita untuk peduli dan memberikan solusi terhadap masalah ini.

Berikut adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki nasib guru di Indonesia:

Meningkatkan kesejahteraan guru, baik dari segi gaji, fasilitas, maupun jaminan sosial.

Memperbarui kurikulum pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan dan kualitas pendidikan.

Mengembalikan nilai-nilai humanis dalam pendidikan.

Dengan solusi-solusi tersebut, diharapkan nasib guru di Indonesia dapat segera membaik.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Negeri Para Nabi

Analisis Kontekstual

Tulang belulang guru itu menumpuk dalam kamus lukaku

Papan tulis bergambar daging, susu dan lauk-pauk lima sempurna

Puisi ini dibuka dengan gambaran yang kelam dan menyedihkan.

Tulang belulang guru menumpuk dalam kamus luka sang penyair. Ini menggambarkan betapa miris nasib guru di Indonesia.

Gambar papan tulis yang bergambar daging, susu, dan lauk-pauk lima sempurna semakin mempertegas gambaran tersebut.

Guru-guru di Indonesia seringkali harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Kusemogakan dalam doa-doaku agar guru-guru di Tanah Air segera merdeka

Terbebas dari kurikulum coba-coba samarata miskin dan kaya

Puisi ini kemudian dilanjutkan dengan harapan sang penyair. Ia berharap agar guru-guru di Indonesia segera merdeka.

Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kurikulum yang tidak relevan, dan merdeka dari sistem pendidikan yang tidak adil.

Sesudah Tut Wuri Handayani membersamai silang-sengkarut transaksi

Ki Hadjar Dewantoro dihadirkan kembali di alam mimpi

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Berguru Pada Puisi, Bercanda dengan Pemilu

Puisi ini juga menyinggung tentang Ki Hadjar Dewantoro, sang penggagas pendidikan nasional Indonesia.

Ki Hadjar Dewantoro dikenal dengan ajarannya yang menekankan pentingnya pendidikan karakter.

Namun, ajaran Ki Hadjar Dewantoro kini seolah hanya menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia kini lebih ditekankan pada aspek akademis dan materi.

Di panggung politik negeri ini, akal budi dianggap sunyi

Guru-guru kencing sembari berlari, murid-murid belajar matrikulasi biang kerok ejakulasi dini

Puisi ini kemudian menyindir para politisi yang tidak mempedulikan pendidikan.

Mereka lebih sibuk dengan kepentingan pribadi dan golongannya. 

Akibatnya, pendidikan di Indonesia menjadi semakin terpuruk.

Dimanakah pelita kegelapan itu kini, prasasti pencerah tanpa tanda jasa yang menunggu marwah kemanusiaan?

Puisi ini ditutup dengan pertanyaan yang menggugah.

Di manakah guru-guru yang menjadi pelita kegelapan? Mereka yang berjuang tanpa pamrih untuk mencerdaskan anak bangsa.

Mereka yang tidak pernah meminta imbalan, bahkan tanda jasa.

Puisi ini merupakan kritik yang tajam terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.

Puisi ini juga merupakan ungkapan keprihatinan sang penyair terhadap nasib guru-guru di Indonesia. (Analisis : AI) ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler