NU dan Genealogi Diskursus Politik Kekuasaan

- 10 Januari 2024, 11:26 WIB
Dr Aguk Irawan MN.
Dr Aguk Irawan MN. /Foto : IG @agukirawanmn

Setidaknya, ada tiga kali Muktamar NU yang mengamanatkan kembali ke Khitthah, yaitu Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979, Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dan Muktamar ke-28 di Krapyak tahun 1989. Semuanya menyuarakan kembali ke Khitthah 1926, dalam artian tidak ikut dalam pengerahan masa untuk politik praktis (kekuasaan), tapi politik keummatan dan kebangsaan.

Baca Juga: Mahfud MD Nyatakan Tidak Ada Rahasia Negara yang Dibongkar di Debat Capres

Dalam anggaran dasar 1926 NU menetapkan visi-misinya untuk mengembangkan Islam berlandaskan ahlusunnah waljamaah. Tujuan itu diusahakan dengan:

(1) Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran empat mazhab. (2) Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. (3) Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab. (4) Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. (5) Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin. (6) Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.

Dari enam langkah di atas tidak satupun yang mengindikasikan adanya nuansa politik dalam pergerakan NU. Namun visi keagamaan yang digeluti NU sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Acuan utama yang digunakan NU, yaitu fiqih mazhab, yang cakupan masalahnya tidak hanya fiqih ibadah, tapi juga muamalah dan siyasah yang banyak menyinggung persoalan politik, seperti imamah, imaratul jays dan al-bughat, yang itu beririsan dengan politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.

Baca Juga: Indonesia Akan Berangkatkan 241 Ribu Jemaah Haji

Perlu dicatat bahwa keputusan NU menjadi partai politik maupun kembali ke Khitthah adalah sama-sama produk politik. Yang pertama disebabkan oleh kekecewaan NU pada Masyumi. Yang terakhir disebabkan kekecewaan NU pada PPP setelah fusi tahun 1973. NU kecewa pada Masyumi, dan karenanya mendirikan Partai NU. Dan NU kecewa pada PPP, dan karena memilih kembali ke Khitthah. Tapi, NU mendirikan PKB tahun 1998.

Keputusan PBNU menjadi partai NU sama dengan keputusan PBNU mendirikan PKB. Dua-duanya sama-sama untuk menciptakan saluran aspirasi politik warga Nahdliyyin. Terlepas NU sendiri yang menjelma partai politik atau NU menjadi dalang utama pembentukan partai politik adalah soal strategi yang relevan di zamannya.

Kepemimpinan Gus Dur di PBNU sama dengan kepemimpinan Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari di HBNO. Gus Dur dan kolega mendirikan PKB, dan Mbah Hasyim berserta kolega merintis Masyumi. Jadi, PKB dan Masyumi adalah dua produk pemikiran Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari dan Gus Dur.

Baca Juga: Meski Dikritik, Jokowi Nyatakan Bansos Tetap Disalurkan

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah