Khalwat, Menikmati Kesendirian Bersama Tuhan

18 Mei 2023, 14:13 WIB
KH Buya Syakur Yasin (berpeci putih) bersama jamaah khalwat. /Foto : Istimewa

DESK DIY -- Khalwat ke-32 di Alas Sukatani Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, akan dimulai pada Minggu, 21 mei 2023. Sebelumnya, Sabtu (20-5/2023) pukul 23.30 WIB acara itu akan dibuka oleh KH Buya Syakur Yasin (Pengasuh Ponpes Cadang Pinggan, Indramayu, Jaqa Barat) dan akan disiarkan langsung lewat channel youtubenya.

Diperkirakan dalam tradisi khalwat tahun ini peserta akan jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya. Terdaftar di panitia sudah di atas 100 peserta, dan diperkirakan akan sampai 200 santri Buya Syakur Yasin dari seluruh Indonesia yang akan mengikuti khalwat tahunan yang berlangsung selama 40 hari ke depan.

KH Buya Syakur Yasin adalah seorang santri tahun 70-an dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang tidak suka dengan hiruk pikuk dan keramaian sekitar.

Baca Juga: Lato-Lato, dari Permainan Anak-Anak Hingga Virus yang Mematikan Sapi

Selalu menyendiri adalah kebiasaan yg sering dilakukannya, entah di hutan, di pesisir pantai, atau di kuburan-kuburan. Yang terkesan beliau tidak mau bergaul dengan siapa pun, meski orangnya dikenal oleh teman-temannya sangat luwes, banyak bicara, pengetahuan luas, dan dikenal pemberontak atas adat dan tradisi stag yang ada di lingkungannya: yaitu pesantren.

Kesendiriannya di makbaroh/makam bukan hanya untuk menghapal pelajaran pelajaran kitab yang harus disetorkan pada kiainya. Tapi lebih dari itu, KH Buya Syakur Yasin bisa mengembangkan hobinya membaca dan mempelajari banyak hal di luar kurikulum pondok.

Di samping hobi membaca apa saja, KH Buya Syakur Yasin kecil juga suka memancing di laut yang menjadi bagian dari refleksinya atas kebiasaan menyendiri. Dan juga sebagai alasan menghindar dari keramaian. Bahkan ketika masih berada di luar negeri dalam rangka menimba ilmu, kebiasaan yang sudah menjadi hobi itu tetap dilakukannya.

"Ingat, bukan ikan yang jadi buruan tapi kesendirian itulah perburuanku." Kata Beliau.

Baca Juga: Persiapan Haji Rampung, Pelunasan Sudah 100 Persen

Hobi menyendiri juga dilakukannya pada waktu-waktu sela selama 20 tahun di luar negeri dengan memasuki hutan belantara yang dikenal angker tanpa kawan hanya untuk mendapatkan kesendirian.

Suatu saat Buya Syakur muda ketika di Belanda merasakan kesendirian itu muncul, pergilah Buya Syakur muda ke hutan untuk mencari dan mendapatkan kesendirian itu. Setelah beberapa hari berada di dalam hutan tanpa bekal apa pun, Buya Syakur muda terciduk polisi hutan di sana.

Anehnya bukannya ditangkap tapi malah didatangkan tim SAR dan tim medis untuk merawatnya karena dianggap orang yang tersesat di hutan. Padahal datang ke hutan adalah kebiasaannya menyendiri. Bercakap dengan alam sekitar dan Tuhannya dalam rangka mengagumi ciptaanNya dan menseiramakan tasbih alam dengan dirinya.

Begitulah keunikan Buya Syakur muda.
20 tahun belajar di luar negeri, puluhan negara sudah dikunjungi, dan puluhan guru sudah didatangi, beserta ribuan buku asing sudah dilahapnya. Pulanglah beliau di tanah air. Dengan memulai karir sebagai rektor di salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka di Jakarta.

Baca Juga: Sebelas Pemuda yang Pantang Dipandang Setengah Mata

Tidak betah dengan rutinitas kampus, akhirnya KH Buya Syakur Yasin pun pulang kampung. Tersebutlah sebuah Desa Tulung Agung, Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu, menjadi tujuan pulang dan mengabdikan dirinya untuk masyarakat sekitar.

Dengan niatan mengamalkan ilmunya di pesantren keluarga untuk dikembangkan dan direkonstruksi ulang metodologi maupun kurikulum pendidikannya dengan berbekal ilmu yang didapatkan selama 20 tahun malang melintang di luar negeri. Meskipun hobi kesendiriannya ini terus dilakukan dengan memasuki hutan hutan belantara di seputaran hutan Subang dan Sumedang.

KH Buya Syakur Yasin ketika memasuki hutan belantara tanpa bekal apa pun, hanya baju yang menempel di badan dan beberapa bekal baju dan sarung ganti. Di hutan KH Buya syakur bukan hanya untuk beberapa hari saja di hutan itu, tapi KH Buya syakur bisa betah berbulan bulan di hutan tanpa bekal apa pun. Bahkan bisa bertahan sampai 6 bulan tanpa perbekalan makanan, hanya pakaian dibadan dan beberapa sarung, tidak terlupakan pula alat pancing yang selalu dibawanya.

Kebiasaan menyantap kesepian dan kesendirian ini lama kelamaan tercium juga oleh seorang sahabatnya dari Indramayu barat yang kemudian mengikuti jejaknya keluar masuk hutan dan meng-guide-nya.

Baca Juga: Ternyata Produk Pakaian Dalam Nilai Tertinggi Komoditas Ekspor DIY, Angkanya Menakjubkan

Beberapa tahun kemudian ada lagi seorang ASN dari Kementeriaan Agama mengikuti jejak KH Buya Syakur Yasin sampai beliau mengundurkan diri dari kedinasannya hanya karena menikmati kesunyian dan kesendirian.

Meskipun berdua ataupun bertiga masuk ke hutan, di dalamnya tidak bersama-sama dan membikin gubuknya sendiri-sendiri dengan jarak yang berjauhan agar rasa kesendirian tetap tercipta.

Kedua orang itu pada akhirnya menjadi santri santri awal perjalanan ke hutan yang kemudian disebut khalwat.

KH Buya Syakur Yasin akhirnya membuka kembali Pondok Pesantren untuk meneruskan peninggalan orangtuanya yang terbengkalai dengan nama Yasiniah sesuai dengan nama ayahnya KH Yasin.

Baca Juga: Gunakan Bendera Partai Gerindra, Titiek Soeharto Maju Caleg Dapil DIY

Salah satu kegiatan pesantren pada setiap tahunnya adalah diadakannya khalwat yang ditularkan kebiasaannya kepada santri santrinya selama kurang lebih 40 hari dimulai dari tanggal 1 kapit/ Dzulkaidah sampai dengan tanggal 10 Raya Agung /Dzulhijjah dengan pembimbing harian selama di hutan adalah dua orang muridnya yang pertama meskipun beliau juga berada disana menemani santri-santrinya di hutan.

Masa-masa itu nampak jelas kesederhanaan dan cenderung alakadarnya, membuat gubuk dengan jarak yang tetap berjauhan beratapkan rumbia dan beralaskan jerami untuk menolak panas dan hujan serta dinginnya malam tanpa penerangan apalagi listrik atau genset yang sengaja dibawa. Pesertanya pun hanya diikuti oleh santri santri Yasiniah saja dan dua orang santri pertamanya.

Kegiatan khalwat selama di hutan 40 hari itu berpuasa di siang hari kecuali yang berpuasa khusus dan berdzikir dengan jumlah tertentu yang harus diselesaikan setiap harinya juga melakukan istighosah bersama di malam harinya.

Menu buka puasa dan sahur hanya bahan makanan yang didapat dari sekitar hutan, terkadang ikan hasil tangkapan dan memancing dari sungai atau selokan yang melintasi  hutan. Sesekali beberapa santri sedikit keluar hutan hanya untuk membeli sayuran dari petani ladang, sungguh sangat sederhana.

Baca Juga: Dalang-Dalang Cilik Beraksi di UNY. Mendidik Anak Cinta Kebudayaan

Setelah pesantren pindah karena santri yang mulai banyak dengan nama sesuai lokasinya "Cadang Pinggan" pada 1 Muharram 1995 kegiatan khalwat masih terus dijalankan tetapi pesertanya sudah bukan lagi santri tetapi orang orang yang tertarik dan ber khidmat kepada beliau.
Santri hanya fokus belajar di pondok pesantren saja.

Hutan tempat tujuan khalwat dari tahun ke tahun selalu berpindah pindah dari lokasi sekitaran hutan di Indramayu, Sumedang dan Subang sampai tahun 2021.

Lokasi terakhir tahun 2021 itu berada di hutan dusun Sukatani kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

Khalwat yang mulai digandrungi oleh santri santri di luar pesantren dari tahun ke tahun mulai meningkat jumlahnya dari hanya beberapa atau puluhan orang saja kini sudah menjadi ratusan. Seperti yang terjadi pada tahun 2019 pesertanya sampai 270an orang. Mereka datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia bahkan luar negeri.

Baca Juga: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Pertama Terakreditasi Internasional FIBAA di 18 Prodi

Antusiasme masyarakat terhadap khalwat dan kajian kajian beliau selalu bertambah apalagi dipengaruhi oleh media sosial yang setiap minggu dua kali disiarkan langsung lewat channep Youtube KH Buya Syakur Yasin.

Dengan peserta khalwat yang mulai bertambah tentu suasana sudah tidak seperti dulu lagi dengan kesederhanaannya yang nampak di lokasi khalwat saat itu.
Kini gubuk-gubuk yang ada dan aula istighosah sudah menjadi bangunan semi permanen.

Jalan menuju lokasi khalwat bisa dilalui roda empat apalagi roda dua dan lahan parkir kendaraan peserta terbentang luas. Hidangan sahur dan buka puasa sudah disediakan dapur umum tinggal menyesuaikan jadwal untuk makan.

Listrik penerangan juga genset sudah masuk ke lokasi khalwat untuk memberi asupan pada handphone peserta dan sound sistem. Hutan menjadi benderang juga suara pengumuman dan istighosah menjadi elektrikal.

Baca Juga: Targetkan 9 Kursi DPRD Gunungkidul, Partai Gerindra Gunungkidul Tak Takut Manuver Partai Lain

Bagi peserta yang mengalami masa masa kesederhanaan khalwat mungkin merasakan khalwat modern ini kehilangan ruhnya, dari kesunyian, kesendirian, kesyahduan, kekhusu'an bahkan dzikir ratapan kedekatan dengan Tuhannya tidak semesra dahulu.

Memang, Buya Syakur mengatakan bahwa khalwat ini adalah bagian dari sarana latihan saja untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dengan puasa dan dzikirnya yang pada akhirnya akan dilanjutkan oleh pribadi masing-masing agar mampu bermesraan dengan Tuhannya dimanapun berada.

Beliau mengatakan khalwat adalah ibadah yang sudah ditinggalkan banyak orang, padahal Rosulullah sebagai panutan kita, juga melakukannya di Goa Hiro.

Baca Juga: Maju Caleg Lewat PDIP, Mbah Rono Tak Mau Beli Suara

Apakah ini Sunnah ?

Adapun Majelis Khslwat Buya Syakur melakukannya di hutan tidak di goa bukan karena tempatnya tetapi lebih pada esensinya.

Pesan yang mungkin juga akan menjadi wasiat beliau adalah agar santri-santrinya untuk terus melanjutkan kegiatan khalwat ini sampai kapanpun meskipun beliau nanti sudah meninggalkan kita semua.

"Tokoh besar mana pun di dunia ini bisa dipastikan keluar dari pertapaan. Nabi Musa dari Gunung, Nabi Muhammad dari Goa, Budha dari hutan, Nabi Yusuf dari penjara. Semua tokoh bisa berpengaruh dan besar pazti keluar dari pertapaan. Makanya tradisi khalwat ini harus menjadi tradisi yang terus dilakukan." Ajak Buya Syakur Yazin. (Asmismus)

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler