Puisi Gus Nas : Rakyat

- 29 Januari 2024, 19:38 WIB
Hanya disapa saat Kampanye Pemilu Sesudah itu dianggap receh Dilupakan dan dipunggungi
Hanya disapa saat Kampanye Pemilu Sesudah itu dianggap receh Dilupakan dan dipunggungi /Ilustrasi Pixabay

Berbondong-bondong ketemu rakyat
: manusia yang dianggap manusia
dalam lima tahun sekali saja

Hanya disapa saat Kampanye Pemilu
Sesudah itu dianggap receh
Dilupakan
dan dipunggungi

(Tiba-tiba aku merasakan demam di sekujur jiwa)

Seperti panggung teater yang
nyaris roboh
Demokrasi tanpa keringat
dan kecakapan
Kekuasaan yang ditopang oleh
amplop dan basa-basi

Kabar-kabar palsu mengetuk
dari pintu ke pintu
Mengutuk dari kalbu ke kalbu

Orang-orang menabuh
genderang perang
dalam kelu kantukku

Sauh telah diangkat
Layar pun berjajar di sepanjang laut
Seperti bendera parpol
Munafik dan mubazir

Indonesia Raya waspada satu
Siaga puisi dan kata-kata
Rakyat sudah dibelah-belah
Dijarah suaranya

: Rakyat tinggal sisa-sisa!


Gus Nas Jogja, 29 Januari 2024
---------

Baca Juga: Kiai Imjaz Ungkap 'Something Different' Pesantren Bina Insan Mulia yang Miliki Ribuan Santri

Telaah Sastra

Puisi ini merupakan sebuah kritik sosial terhadap kondisi politik di Indonesia. Puisi ini dibuka dengan gambaran para politisi yang hanya menemui rakyat saat kampanye pemilu. Setelah itu, rakyat dianggap receh, dilupakan, dan dipunggungi.

Pada bait kedua, penyair menggambarkan demokrasi di Indonesia yang tidak berjalan dengan baik. Demokrasi hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa ada gagasan dan ide yang berarti. Kekuasaan hanya ditopang oleh uang dan basa-basi.

Pada bait ketiga, penyair menggambarkan bagaimana berita-berita palsu dan ujaran kebencian menyebar di masyarakat. Hal ini semakin memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.

Pada bait keempat, penyair menggambarkan bagaimana rakyat semakin terpecah belah dan suaranya dijarah. Rakyat tidak lagi memiliki kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Baca Juga: Berijalan Dukung UMKM di Yogyakarta, Adakan Workshop Digital Marketing

Puisi ini ditutup dengan seruan untuk bersatu dan melawan kondisi yang tidak adil ini. Rakyat harus waspada dan siaga untuk memperjuangkan hak-haknya.

Secara umum, puisi ini memiliki gaya bahasa yang cerdas, bernas dan efektif. Penyair menggunakan kata-kata yang tajam, berbobot dan mudah dipahami untuk menyampaikan pesannya. Puisi ini juga memiliki ritme yang teratur dan mudah diingat.

Berikut adalah beberapa interpretasi yang dapat ditarik dari puisi ini:

Politisi hanya menganggap rakyat sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik karena hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa ada gagasan dan ide yang berarti.

Ujaran kebencian dan berita palsu semakin memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.
Rakyat semakin terpecah belah dan suaranya dijarah oleh para politisi.
Rakyat harus bersatu dan melawan kondisi yang tidak adil ini.

Baca Juga: Relawan J-Generation Kawal dan Dukung Program Jokowi Hingga Akhir

Puisi ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih kritis terhadap kondisi politik di Indonesia.

* Kita harus waspada terhadap para politisi yang hanya ingin meraih kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan rakyat.

* Kita juga harus bersatu dan berjuang untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.

Perspektif Sosial-Politik

Puisi ini merupakan sebuah kritik sosial yang tajam terhadap kondisi politik dan demokrasi di Indonesia. Puisi ini menggambarkan bahwa rakyat telah menjadi korban dari permainan politik para politisi. Rakyat telah dilupakan, dihina, dan suaranya dirampas. Penyair menyerukan kepada rakyat untuk waspada dan siaga, agar tidak terus menjadi korban dari permainan politik.

Baca Juga: Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Berharap PBNU Netral

Berikut adalah beberapa interpretasi terhadap puisi "Rakyat":

1. Penyair mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi politik dan demokrasi di Indonesia.

2. Penyair melihat bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami degradasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, kini telah menjadi alat bagi para politisi untuk memperkaya diri dan meraih kekuasaan.

3. Penyair juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap masa depan rakyat Indonesia.

4. Penyair melihat bahwa rakyat telah menjadi korban dari permainan politik para politisi. Rakyat telah dipecah-belah dan suaranya dijarah.

5. Penyair khawatir bahwa rakyat akan terus menjadi korban dari ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Baca Juga: Yenny Wahid : Jangan Pilih Paslon Hanya karena Diberi Bansos

Walhasil, puisi ini memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi politik dan demokrasi di Indonesia.
Puisi ini juga membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya demokrasi yang berkeadilan.

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x