Sultan Agung Memindah Ibukota Kerajaan karena Perintah Sunan Kalijaga

- 22 Maret 2023, 16:44 WIB
Kondisi situs bersejarah Kerto dan ompak penyangga saka guru bangunan Kraton Kerto
Kondisi situs bersejarah Kerto dan ompak penyangga saka guru bangunan Kraton Kerto /Foto : Cahyono Budi Santoso

DESK DIY, Yogya -- Raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung Anyakrawati yang memerintah tahun 1613-1646 memindahkan Ibukota karajaan dari Kotagede ke Kerto karena mendapat dhawuh atau perintah dari Sunan Kalijaga.

Demikian penjelasan Ki Herman Sinung Janutama, seorang ahli sejarah Jawa, ahli pembaca naskah kuno dan pelaku spiritual Jawa tentang penyebab Sultan Agung memindahkan ibukota kerajaan Mataram Islam dari Kotagede ke Kerto.

Mengapa memilih Kerto? Karena Sultan Agung mendapat penjelasan bahwa di selatan Kotagede ada lokasi yang sudah dihuni penduduk sejak zaman Sunan Ampel. Pada zaman Majapahit, waktu itu Sunan Ampel setelah membangun Wonokromo Surabaya, memerintahkan santrinya yang sebelumnya adalah seorang panglima perang yang telah memeluk Islam agar mencari tanah berada di antara dua arus air, Tempuran. Tempat ini dijadikan pemukiman dan pesantren awal di lokasi yang di kemudian hari disebut Wanokromo.

Baca Juga: Guru Perlu Memotivasi Diri Agar Bisa Hebat

Informasi adanya lokasi bernama Wonokromo di desa yang sekarang terletak di Kecamatan Pleret ini disampaikan oleh Abuya Dimyati.

Abuya Dimyati adalah tokoh spiritual dari Banten yang menjadi menantu seorang kiai dari Wonokromo Pleret ini. Abuya Dimyati menyampaikan hal ini kepada para tokoh masyarakat Wonokromo.

Sultan Agung kemudian memilih Kerto sebagai lokasi Ibukota kerajaannya. Lokasi ini cukup dekat dengan Tempuran.

Baca Juga: Kebaya Lebaran Cantik Anak-Anak yang Laris Manis

Perpindahan ibukota secara berangsur-angsur, tidak dramatis dan penuh suasana meriah seperti saat terjadinya perpindahan ibukota Mataram Islam di zaman Sunan Paku Buwono | dari Kartosuro menuju Surakarta. Sultan Agung menginginkan perpindahan ibukota ini secara diam-diam agar tidak menimbulkan gejolak di daerah-daerah. Maklum, waktu itu Sultan Agung masih sangat muda dan banyak bupati dan tokoh masyarakat di timur jauh sana yang meragukan kemampuan Sultan Agung memerintah sebuah negeri.

Awalnya, Sultan Agung melaksanakan rencana strategis kerajaan, membangun armada laut dengan membuat galangan kapal di Segara Yasa. Saat memantau kegiatan ini, Sultan Agung melalui rute perjalanan dari Kotagede menuju Ngipik lalu ke selatan menuju Segara Yasa.

Setelah kegiatan memantau pembuatan kapal ini selesai Sultan Agung transit atau Istirahat di Kerto yang merupakan bangunan istana yang strukturnya lengkap, dengan alun-alun, ringin kurung, sitinggil dan Ndalem tempat kediaman.

Baca Juga: Lazismu DIY Menyapa Para Guru

Karena sering pergi ke Kerto, dan pelan-pelan menetap ke Kerto, Kotagede awalnya tetap sebagai ibu kota dan Kerto berfungsi sebagai kota administrasi dan pemerintahan dan kegiatan di Kotagede diserahkan kepada Tumenggung Martapura. Kotagede tidak serta merta surut, bahkan tumbuh menjadi kota perdagangan dan kota usaha kerajinan.

Demikian tambahan penjelasan Ki Herman Sinung Janutama.

Bertahun-tahun Sultan Agung membangun armada laut, nantinya akan ditempatkan di pelabuhan militer di Tegal. Sampai suatu ketika, tahun 1615 Ibukota Kerajaan Mataram Islam pindah ke Kerto yang sekarang bekas peninggalannya masih ada berupa umpak atau tempat memasang soko guru kraton.

Situs sitinggil juga sudah digali dan diidentifikasi oleh Tim dari Dinas Kebudaayaan DIY. Seorang arsitek bernama Ir Eko Suryo Maharso yang melakukan penelitian lapangan kemudian menggambar sket tentang posisi Kraton Kerto lengkap dengan lingkungan Sungai Opak, Sungai Gajah Uwong dan posisi tempuran itu.

Baca Juga: Menag Yaqut Qoumas : Jangan Jadikan Agama sebagai Politik Identitas

Di ibukota baru ini Sutan Agung mengatur pemerintahannya dengan tenang dan menyejahterakan kehidupan masyarakatnya. Sebagaimana disebutkan dalam buku Poros Ulama Mataram Islam karya HM Nasruddin Anshoriy Ch, Kerto dikelilingi desa-desa santri seperti Jejeran, tempat tinggal Kiai Jejer mertua dan guru Sultan Agung, Kanggotan, tempat Ki Ageng Amat Kategan yang menjadi Penghulu Kraton, dan Desa Wonokromo yang menjadi gudang ulama.

Dengan para ulama dari arah timur, Jatinom, Bayat, sampai Ampel dan Giri, juga dengan ulama dari utara seperti Kadilangu dan Kedu. juga dengan ulama dari arah barat dari Petanahan sampai ke Cirebon hubungan Suitan Agung sangat dekat.

Di Kraton Kerto sering diadakan sarasehan menyempurnakan draft dari beberapa serat penting semisal Sastra Gendhing. Sultan Agung raja yang demokratis dalam mengembangkan ilmu. Juga demokratis dalam mengembangkan budaya Jawa dan Islam.

Baca Juga: Gending Jawa dan Bali Iringi Upacara Ritual Tawur Kesanga di Candi Prambanan

Keputusan untuk menyatukan kalender Jawa dengan kalender Islam, tahun 1617, dibahas dalam sarasehan ini. Para ulama menempati posisi penting dalam Kerajaan Mataram Islam era ini. Pendapat mereka didengar oleh raja.

Dengan hasil beras melimpah, hubungan diplomasi dengan kerajaan lain terjaga dengan baik, kegiatan kerajinan termasuk kerajinan kayu dan sastra semarak di mana-mana.

Kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung bisa disebut berada dalam zaman kejayaan. Kalau digambar dari angkasa, maka Kerajaan Mataram Islam zaman Sultan Agung mirip badan dan kepala burung garuda raksasa, dengan sayap sebelah barat kerajaan Aceh Darusaalam dan sayap sebelah timur berupa Kasultanan Ternate dan Tidore. Antar tiga kerajaan besar Nusantara ini terjalin lalu lintas ilmu, perdagangan, dan jaringan tharikat sufi. Mursyid Tharikat Syattarutag di Aceh punya murid di Jawa dan di Nusantara Timur.

Baca Juga: Agus Hartono : Penggerak, Inspirator dan Pendiri Lebih 200 Bank Sampah

Kembali ke soal pembuatan kapal-kapal di kerajaan Mataram itu. Setelah kapal-kapal perang selesai dibuat, armada laut ini bergerak ke selatan memasuki samudera Jawa selatan, ke timur lalu ke utara dan menaklukkan Surabaya agar pelabuhan ini tidak dimanfaatkan oleh kapal-kapal JP Coen yang datang dari Ambon untuk menggerogoti Mataram.

Melihat datangnya rombongan armada yang kuat ini para bupati di wilayah timur pun tunduk dan mengakui kecakapan Sultan Agung memerintah Mataram. Meski berusia muda, raja ini bisa tampil menjadi raja yang kuat, berwibawa dan memiliki ilmu agama dan ilmu pemerintahan yang mantap.

Setelah konsolidasi kekuatan militer laut dan darat dirasa cukup maka pada tahun 1628 dan 1629 pasukan Mataram pun bergerak menuju dan menyerbu Batavia. Pada zaman itu kalau terjadi perang maka yang sesungguhnya berlangsung adalah perang amunisi, perang logistik dan perang telik sandi atau Intelijen.

Baca Juga: Baju Koko Habaib Model Ammu Banyak Diminati

Kaki tangan Belanda berupa regu telik sandi bisa menyusup dan mengacaukan jaringan logistik pasukan Mataram sehingga pasukan Mataram tidak berhasil mengusir penjajah dari bumi Jayakarta yang oleh Belanda telah diganti nama Batavia. Tetapi telik sandi Mataram pun berhasil menyusup ke benteng Belanda di Batavia.

Dalam suasana kacau selama pertempuran di Batavia itu. JP Coen terbunuh oleh telik sandi dari Mataram. Sehingga terjadi semacam gencatan senjata antara kedua belah pihak. Sehabis pertempuran Ini, pasukan Mataram tidak mengulangi penyerbuan ke Batavia. Meski demikian armada lautnya tetap diperkuat untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah dilaut utara. Kapal-kapal Belanda tidak berani mengganggu kapal Mataram.

Sultan Agung kemudian mempersiapkan makamnya di Bukit Merak Imogiri. Makam ini kemudian dikenal sebagai komplek makam Pajimatan. Lokasi bukit yang luas memungkinkan di makam ini dibangun kompleks makam keturunannya, keturunan Hamengku Buwono I dan kompleks makam keturunan Sunan.

Baca Juga: Masjid Bisa Tumbuh Menjadi Pusat Pengembangan Ekonomi

Paku Buwono di sayap lain. Tempat ini di kemudian hari ramai dikunjungi peziarah. Di dekatnya ada bukit yang kemudian dibangun oleh perupa Sapto Hudoyo menjadi Makam Seniman. ***

Editor: Mustofa W Hasyim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x