Puisi Gus Nas Berjudul 2024 Mengingatkan tentang Reformasi dan Revolusi

- 18 Maret 2023, 09:02 WIB
Gus Nas
Gus Nas /(Foto : Chaidir)

 

2024

 

Di Bukit Menoreh

Aku melihat lidah api

Menyala hingga di ubun-ubun Tidar

 

Paku Tanah Jawa itu

Sudah saatnya meludahkan rahasia

Menjilat-jilat cakrawala

 

Perut Ibu Pertiwi yang hamil tua

Menunggu detik-detik ledakannya

 

Kekuasaan yang mengangkangi

Adalah bara api yang bersenggama

 

Dalam sekam sunyi ini

Aku menyaksikan anak-anak bangsa

Bergumul dalam gelombang duka-cita

 

Naga Sasra dan Sabuk Inten

Memancarkan cahaya ungu

Dari tempayan rahasia

Dalam pertapaannya yang purba

 

Nasi

Aksi

Narasi

Saling berlomba

Entah untuk syahwat yang mana

 

Di kaki Monas

Tercecer jutaan kata-kata

Terasing dan sia-sia

Terkucil dari kamus kemesraan dan cinta

 

Senayan menggigil

Istana Negara terapung

Dalam keruh sungai Ciliwung

Jakarta menjelma taburan abu dan badai jelaga

 

Akankah sembilan delapan terulang kembali?

Orasi tanpa narasi

Reformasi tanpa nyala api

Revolusi sudah mati berkali-kali

 

Trotoar jalanan Batavia

Mendidihkan kesedihan seluruh bangsa

Kolonialisme bertagar samsara

 

Demokrasi mati muda

Keadilan Sosial terlunta

Pendidikan terlantar di rawa-rawa

Aku bertanya padamu

Apa makna Sekolah Merdeka?

 

Kupetik puisi di putik embun

Mawar merah Indonesia Raya

 

Pada dawai biola

Kujeritkan lantunan doa

Inikah perjamuan terakhir

Atau asal-muasal cinta?

 

Gus Nas Jogja, 5 Januari 2023

 

Baca Juga: Limapuluh Satu Pedagang Siap Melayani Pengunjung Pasar Sore Ramadhan Kauman

Baca Juga: Menteri Investasi: Singapura Mendominasi Investasi di Indonesia

Tentang Gus Nas

H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali. ***

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x