Puisi Gus Nas : Balairung

10 Desember 2023, 06:34 WIB
Gus Nas saat membaca puisi berjudul Balairung. /Foto : Istimewa

DESK DIY - Sesudah 41 senja bertapa di kawah Merapi, bersemadi dalam gemuruh orkestra di Laut Selatan, tibalah saatnya telur suci ini menetaskan puisi di Balairung

Catat dalam Mozaik Cinta! Balairung adalah puisi, Titik Nol Rindu yang diwakafkan oleh orang-orang linuwih, diwariskan para cerdik pandai, dihadiahkan oleh kaum begawan yang menjalani Nitilaku dan Lampah Ratri bernama rendah hati

Sembari mengucap salam waras pada akal sehat, hari ini kunyalakan kembali bara api itu di sini, di Balairung, kawah candradimuka ilmu dan laku, luka dan cinta, labirin sejarah yang mempertemukan Barat dan Timur dalam satu belanga

Mendekatkan Utara dan Selatan dalam agenda mitigasi peradaban untuk keadilan, kemanusiaan dan kedamaian

Puisi Baca Juga: Puisi Gus Nas : Reportase Kaum Garangan. Kepada Gus Iqdam

Dari Pagelaran Kraton Jogja menuju Gelanggang Mahasiswa, kurajut kembali cita-cita Sultan Agung, Ki Hadjar Dewantoro, Kyai Ahmad Dahlan, Hamengku Buwono IX, Profesor Notonagoro dan Jenderal Sudirman, agar dari Bumi Jogja ini Indonesia Raya terus berkumandang dan Merah Putih berkibar di cakrawala!

Daulat Rakyat hadir untuk memarwahkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan membersamai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi Bangsa Beradab! Politik Beradab! Hukum Beradab! Demokrasi Beradab!

Hari ini aku kembali ke Balairung untuk bersimpuh dan memuliakan Ibu, rahim segala rahmat, muara seluruh nurani, agar jiwa bangsa ini tak porak-poranda oleh nestapa, saat gemuruh hoax di zaman disrupsi, ketika kepalsuan kian merah merona, reformasi tak menunaikan amanahnya, surplus gincu di mana-mana lalu defisit akal-budi masih setia bersarang di tempurung kepala

Kembali ke Balairung untuk menatap tajam diri sendiri, mawas diri, sesudah ketuban Proklamasi Kemerdekaan pecah, lalu darah reformasi dan revolusi melahirkan beranak-pinak algoritma, samsara dan karma

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Makelar Suara

Di Balairung ini kembali kubaca kita-kitab segala bangsa, semua suku dan bahasa, dengan semangat Sumpah Palapa yang pernah dipekikkan oleh Maharesi Gadjah Mada.

Hari ini kubaca kembali Pusaka Sastra Kitab Sutasoma, suara sepuh penuh wibawa dari Mahapujangga Mpu Tantular yang berbunyi “Wan wengi, windu sinunggal, winuwus bhinneka tunggal ika, Tan Hana Dharma Mangrwa! Semangat Sumpah Pemuda yang para empu dan pujangga Pendiri Bangsa!

Kugali sumur tua segala makrifat di dunia lalu kutimba agar semua kemarau dan dahaga sirna, agar yang pongah merendah, agar yang luka terobati, agar yang sakit disembuhkan, dan bunga-bunga yang layu mekar kembali dalam kesegaran dan peluk mesra daulat alam

Di Balairung ini aku berhasrat menjadi sapu yang bukan hanya lidi, mengeja ruang dan waktu, belajar jujur agar tidak takabur, berguru pada sebutir padi agar mengerti mana yang kosong dan mana yang isi, dan mendengar kesiur angin di daun-daun Bodhisattva

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Balairung Memanggil

Sesudah bertahun-tahun terpenjara dalam kerangkeng retorika, sibuk merayakan pesta dengan topeng aneka warna, bersolek dengan gemerlap fatwa dan dimabukkan oleh silang-sengkarut politik abrakadabra, kini saatnya aku kembali mengaji sunyi di Balairung ini

Mustahil hidup tanpa cinta, dan haram hukumnya mengingkari rindu pada rahim Ibu Pertiwi

Jika ibumu berkata:
"Kau masih kelas kanak-kanak!"
Maka, segeralah menunduk, lalu ciumlah telapak kaki ibumu

Hasrat menjadi hebat masih membuat kita berlagak, tahta yang tinggi membuat kita jumawa, harta berlimpah menjadikan kita pongah

Dalam tempayan keindahan kita bertemu, Balairung namanya, titik-temu Sumbu Filosofi antara Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo, untuk mengheningkan cipta, menajamkan rasa, menetaskan karsa

Sesudah melintasi waktu panjang dari tanggal 16 Desember 1949, kita akan kembali mengetuk pintu kalbu ibu Pertiwi

Ibu, aku sudah belajar filsafat, politik, hukum, matematika, ekonomi, agama, manajemen, lengkap dengan segala paradigma dan algoritmanya

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Tuhan Tak Pernah Cuci Tangan

Lebih dari segalanya, aku juga sudah belajar menjadi makelar, calo, agar dekat dengan harta dan tahta, bisa flexing dan tebar pesona

Ibu, masih kujumpai simpul amarah pada sampul dunia, saat korupsi, kolusi dan nepotisme masih menari di pelupuk mata, dengan pedang apa akan kupancung ia?

Hari ini aku mengaji kejujuran, mengeja kehidupan, sembari bercermin pada watak leluhur yang welas-asih dan _sepi ing pamrih,_ berguru pada para Begawan di Kampus Biru ini

Aku merindukan birunya biru, ekosistem kebudayaan dan kesalehan sosial berpeluk mesra, agama dan sains teknologi menafasi cakrawala, filsafat dan makrifat melahirkan peradaban, ekonomi dan ekologi menumbuhkan pohon-pohon peradaban dan merawat semesta, sastra dan seni menjadi cetak-biru dalam memarwahkan kemuliaan manusia.

Hari ini kuucapkan terima kasihku pada Prof. Dr. Soetopo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. Dr. Prijono, Prof. Ir. Wreksodhiningrat, Prof. Ir. Harjono, Prof. Sugardo dan Slamet Soetikno, S.H yang menata batu-batu pendidikan dan kebudayaan hingga berdiri Balairung Agung di Kampus Merdeka ini

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Bayi-Bayi Palestina

Hari ini aku merindukan keikhlasan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, kelakar Profesor Umar Kayam, keilmuan Prof. Mubyarto dan Prof. Sartono Kartodirdjo, kelembutan hati Prof. Kuntowijoyo, dan kepak sayap burung merak bernama Rendra!

Telah ribuan karya akademik diteliti dan dipaparkan dalam jurnal terindeks scopus, ditulis menjadi skripsi, tesis dan disertasi dari Kampus Biru ini, tapi kenapa masih banyak jiwa yang tak bernyawa dan hati yang tak bernyanyi di Tanah Air Indonesia ini?


Gus Nas Jogja, 9 Desember 2023. ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler