Kisah Ilmu Hikmah Sunan Kalijaga dan Orong-Orong

24 Mei 2023, 15:10 WIB
Ilmu hikmah Sunan Kalijaga tentang orong-orong. /Foto : Istimewa

DESK DIY -- "Pak Bei ingat gak cerita seputar pembangunan Masjid Demak jaman Walisanga dulu?," tanya Narjo tadi pagi sambil nglesot duduk di lantai.

Pak Bei sudah hafal, sahabatnya itu pasti ingin ngajak ngobrol sambil istirahat sebentar. Maklum saja, sebagai loper koran, Narjo sudah keluar rumah sejak bakda shubuh setiap hari mengambil koran ke agen di Kota Klaten lalu mengantar ke rumah pelanggannya satu-persatu. Sampai di nDalem Pak Bei sekitar jam 07.00, kadang sudah tampak capek, butuh istirahat, butuh minum kopi atau teh nasgithel. Pak Bei paham itu.

"Cerita soal apa tadi, Kang?," tanya Pak Bei sambil menyugukan segelas kopi robusta Semendo.

Baca Juga: DIY Raih Sertifikat 44 Warisan Budaya Takbenda, Tonggak Penting Lindungi Kekayaan Budaya

"Itu lho, Pak Bei, satu kejadian ketika para Wali dan umat Islam di Demak Bintoro sedang kerja bakti membangun masjid. Waktu itu Sunan Kalijaga sedang mengerjakan salah satu saka, tiang utama dari kayu jati, dengan menggunakan kapaknya. Betapa terkejut Kanjeng Sunan, ternyata pukulan kapaknya mengenai seekor orong-orong, binatang kecil yang biasa hidup di comberan dan berbunyi nyaring setelah turun hujan. Kepala orong-orong itu terputus dari tubuhnya."

"Ooh itu? Iya, aku ingat, Kang."

"Terus Kanjeng Sunan berupaya menyelamatkan orong-orong itu. Tubuh dan kepalanya disambungnya kembali dengan lidi dari tatal kayu jati."

"Iya betul, Kang. Memang begitu ceritanya. Kepala dan badannya disambung pakai kayu jati."

Baca Juga: Sri Sultan Minta Walikota Yogyakarta dan Bupati Kulonprogo Jaga Kondusivitas Pemilu

"Sebenarnya cerita itu cuma perlambang lho, Pak Bei. Bukan kejadian sungguhan. Jadi jangan dipahami mentah-mentah."

"Ada maknanya, maksudmu?"

"Ya jelas, Pak Bei. Itu ilmu hikmah. Perlu pemaknaan."

"Kira-kira apa maknanya, Kang?"

"Kanjeng Sunan mengajari kita bahwa antara kepala dengan badan itu harus tersambung dengan kayu jati."

"Wah jero iki. Terus, Kang..."

"Isi kepala, pikiran, dan omongan kita harus jumbuh, harus sesuai dengan isi hati, juga harus sesuai dengan tindakan, perilaku, amal perbuatan. Tidak boleh jarkoni, isoh ujar ning ora isoh nglakoni, bisa berujar, suka ngomong berbusa-busa tapi tidak bisa mengamalkan, suka berjanji tapi tidak bisa menepati, tidak bisa membuktikan apa yang diomongkan. Alias berbohong. Dan, sambungannya pun harus pakai kayu jati, bukan sembarang kayu."

Baca Juga: Pesona Bantul Muslim Fashion Show 2023 untuk Kota Kreatif Dunia

"Artinya apa, Kang?"

"Artinya, keselarasan antara pikiran dan omongan dengan hati itu bisa terjadi bila ada kesadaran kesejatian dan akal sehat. Bukan dituntun nafsu, ambisi, atau gengsi.

"Sebentar, Kang, ada apa kok tiba-tiba Kang Narjo ngomong soal ajaran kesejatian Kanjeng Sunan Kalijaga? Mimpi apa tadi malam?"

"Hehehe...ini bukan soal mimpi, Pak Bei."

"Terus....?"

"Saya prihatin saja."

"Soal apa?"

"Ini kan tahun politik. Orang-orang politik sudah gayeng kampanye untuk Pemilu dan Pilpres 2024."

"Lalu apa masalahnya?"

"Pak Bei perhatikan saja, semua Tim Sukses dan Tim Hore-hore sudah mulai jualan janji-janji."

"Namanya kampanye kan memang jualan janji to, Kang?"

"Makanya itu, Pak Bei..."

"Apa?"

"Rakyat selalu kecelik, kecewa karena terbuai janji-janji."

"Kok gitu?"

"Walah Pak Bei ini mbok jangan gampang lupa, to. Banyak janji-janji waktu kampanye, tapi mana yang sudah terbukti setelah dia berkuasa? Janji tidak nambah utang Luar Negeri? Janji mau menyejahterakan petani? Janji mau merampas uang koruptor yang ribuan trilyun? Janji tidak ada rangkap jabatan? Semua tidak terbukti, Pak Bei."

Baca Juga: Diusung PSI Jadi Walikota, Billboard Kaesang Dipasang di Daerah Kekuasaan PKS Kota Depok

"Pemerintah kan punya skala prioritas, Kang."

"Seharusnya yang jadi prioritas ya yang sudah dijanjikan waktu kampanye, Pak Bei. Biar rakyat tidak kepusan, tidak merasa tertipu."

"Kang, hati-hati lho ngomong seperti ini. Kamu bisa dianggap menyebar kebencian dan menebar kabar bohong, kabar hoax, lho."

"Walah, Pak Bei. Aku ngomong ini kan cuma dengan Pak Bei. Cuma ngudarasa, ngomong dari hati ke hati. Aku ini juga rakyat yang punya hak bicara, hak memilih, dan hak dipilih. Hak dipilih tidak pernah kugunakan. Hak memilih kugunakan dengan baik setiap Pemilu, Pilpres, Pilgub, Pilbup, dan Pilkades. Hak bicara? Apa rakyat ini harus mingkem diam saja meskipun merasa teraniaya?"

"Memang Kang Narjo merasa teraniaya?"

"Aku ini juga manusia, Pak Bei. Punya hati dan punya pikiran. Tidak bisa pura-pura senang sedangkan hati terasa miris melihat keadaan, melihat ketimpangan, melihat ketidakadilan? Ya sekali-kali butuh curhatlah. Dan aku suka curhat di sini, ke Pak Bei. Ya mohon maaf kalau Pak Bei kurang berkenan."

Baca Juga: Menghadapi Ganasnya Pasar Bebas, Jatam Klaten Terbentuk

"Bukannya kurang berkenan, Kang. Aku paham kok kegelisahanmu. Itu sama dengan kegelisahan banyak orang yang sering kudengar. Cuma aku mengingatkanmu agar hati-hati kalau ngomong politik. Harus empan-papan, lihat-lihat tempat dan situasi."

"Ya sudah, Pak Bei. Aku mau lanjut kerja. Makasih ya kopinya."

"Oke, Kang. Jaga kesehatan, ya."

Narjo si loper koran senior itu meninggalkan nDalem Pak Bei dengan Supra-X tuanya, dengan koran-koran yang masih setumpuk dibawanya, dan entah masih ada kegelisahan apalagi di hatinya. Ada saatnya orong-orong memang harus berbunyi nyaring agar orang tahu ada kehidupan di tanah yang becek di kala musim hujan atau di comberan di persawahan. (Wahyu Nasution)

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler