2024
Di Bukit Menoreh
Aku melihat lidah api
Menyala hingga di ubun-ubun Tidar
Paku Tanah Jawa itu
Sudah saatnya meludahkan rahasia
Menjilat-jilat cakrawala
Perut Ibu Pertiwi yang hamil tua
Menunggu detik-detik ledakannya
Kekuasaan yang mengangkangi
Adalah bara api yang bersenggama
Dalam sekam sunyi ini
Aku menyaksikan anak-anak bangsa
Bergumul dalam gelombang duka-cita
Naga Sasra dan Sabuk Inten
Memancarkan cahaya ungu
Dari tempayan rahasia
Dalam pertapaannya yang purba
Nasi
Aksi
Narasi
Saling berlomba
Entah untuk syahwat yang mana
Di kaki Monas
Tercecer jutaan kata-kata
Terasing dan sia-sia
Terkucil dari kamus kemesraan dan cinta
Senayan menggigil
Istana Negara terapung
Dalam keruh sungai Ciliwung
Jakarta menjelma taburan abu dan badai jelaga
Akankah sembilan delapan terulang kembali?
Orasi tanpa narasi
Reformasi tanpa nyala api
Revolusi sudah mati berkali-kali
Trotoar jalanan Batavia
Mendidihkan kesedihan seluruh bangsa
Kolonialisme bertagar samsara
Demokrasi mati muda
Keadilan Sosial terlunta
Pendidikan terlantar di rawa-rawa
Aku bertanya padamu
Apa makna Sekolah Merdeka?
Kupetik puisi di putik embun
Mawar merah Indonesia Raya
Pada dawai biola
Kujeritkan lantunan doa
Inikah perjamuan terakhir
Atau asal-muasal cinta?
Gus Nas Jogja, 5 Januari 2023
Baca Juga: Limapuluh Satu Pedagang Siap Melayani Pengunjung Pasar Sore Ramadhan Kauman
Baca Juga: Menteri Investasi: Singapura Mendominasi Investasi di Indonesia
Tentang Gus Nas
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali. ***