Hukum Musik dalam Hadits Nabi: Halal dan Haram dengan Catatan

- 15 Mei 2024, 23:53 WIB
KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA. /Foto : istimewa

Sebagaimana dalil kelompok pendukung kebolehan bermusik, dalil kelompok pendukung keharaman musik juga ditakwil atau ditafsir. Misalnya, Abu Muhammad bin Hazm al-Zhahiri mengatakan bahwa hadits riwayat Bukhari ini adalah hadits munqathi', di mana al-Bukhari diyakini oleh Ibnu Hazm al-Zhahiri tidak pernah berjumpa dengan salah satu perawi hadits yang bernama Hisyam bin 'Ammar.

Tentu saja, pandangan Ibnu Hazm al-Zhahiri tersebut ditentang oleh kelompok pendukung keharaman musik. Dengan keyakinan bahwa al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar pernah berjumpa. Dalil penentang pendapat Ibnu Hazm bukan dalil historis, melainkan analisa linguistik. Bagi mereka, karena al-Bukhari mengatakan "Hisyam bin 'Ammar mengatakan", maka ucapan al-Bukhari tersebut mengindikasikan perjumpaan antara al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar. Di sinilah perdebatan terjadi.

Mencari Jalan Tengah

Umat muslim tidak boleh terjebak pada perdebatan teknis. Seyogyanya masuk ke dalam dimensi yang lebih mendalam dan subtansial, yaitu mengapa Rasulullah SAW membiarkan dua budak perempuan Aisyah bernyanyi dan bermain Rebana, serta mengapa Rasulullah SAW juga meramalkan kemunculan golongan orang-orang yang menghalalkan perzinaan, sutera, alkohol dan alat musik. Umat muslim harus bersandar pada ayat-ayat Alqur'an yang sudah sangat jelas dan final.

Rasulullah SAW melarang Abu Bakar RA mencegah dua pemain musik dan penari itu, bukan hanya karena hari itu adalah hari raya, sebagaimana tersurat dalam teks hadits. Sebaliknya, karena Rasulullah SAW memastikan tidak ada dosa dan maksiat yang dilakukan oleh dua budak perempuan Aisyah RA tersebut. Seandainya Rasulullah SAW melihat secara langsung praktik maksiat di dalam permainan musik tersebut maka sudah pasti Rasulullah Saw akan bertindak melarang tanpa perlu menunggu kedatangan Abu Bakar.

Larangan berbuat maksiat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan permainan musik. Maksiat dan dosa bisa dilakukan tanpa dibarengi dengan permainan musik. Artinya, ketika ada permainan musik yang ditonton oleh Rasulullah SAW dan Aisyah RA, maka itu berarti tidak ada perbuatan dosa dan maksiat di saat musik sedang dimainkan.

Baca Juga: TMII Larang Konser Musik Bermuatan Politik

Namun, apakah permainan musik pasti tanpa maksiat? Tentu saja tidak. Permainan musik bisa dilakukan bersamaan dengan dosa-maksiat maupun tanpa dosa-maksiat. Ketika permainan musik dibarengi maksiat maka hukumnya haram. Oleh karenanya berlakulah hadits tentang larangan musik. Hadits ini berlaku bagi orang yang melakukan musik bersamaan dengan pesta free sex, pesta minuman keras, dan berfoya-foya, yang disimbolkan dengan memakai kain sutera.

Alhasil, tidak ada pertentangan antara hadits yang membolehkan permainan musik di waktu hari raya dan hadits melarang penggunaan alat-alat musik bersamaan dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Dua hadits tersebut akan sepintas terlihat bertentangan apabila tidak berpegang teguh pada Alqur'an. Sementara Alqur'an sendiri sudah jelas dan tegas mengatakan bahwa ada 2 (dua) macam penyair, pemusik, yang satu diikuti oleh orang-orang sesat dan yang lainnya diikuti oleh orang-orang beriman dan bertakwa.

Di sini kita bisa mengasumsikan bahwa permainan musik yang dibarengi dengan maksiat (baca: free sex, minuman keras, dan foya-foya) akan tetap haram walaupun dilakukan di hari raya. Artinya, hari raya itu sendiri bukan alasan Rasulullah Saw membiarkan Aisyah dan Abu Bakar mengizinkan permainan musik, melainkan karena Rasulullah melihat tidak ada maksiat di saat itu, di saat musik dimainkan. Ketika Rasulullah melihat ada maksiat (hirra, harira, khamra) maka memainkan alat musik adalah haram. ***

 

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah