c. Dialog dan Pemahaman: Rekonsiliasi membutuhkan dialog dan pemahaman antara pihak-pihak yang berbeda pandangan. Dialog ini bertujuan untuk membangun empati dan understanding, serta mencari jalan keluar bersama untuk masa depan yang lebih baik.
d. Komitmen untuk Masa Depan: Rekonsiliasi bukanlah proses sekali jalan, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang untuk membangun masa depan yang lebih adil dan damai. Ini melibatkan perubahan struktural, pendidikan, dan upaya untuk mengatasi akar penyebab konflik.
Baca Juga: Pemilu sebagai Ibadah: Perspektif Teologi dan Filsafat
Tantangan Rekonsiliasi:
Mengatasi Trauma: Peristiwa traumatis seperti Kalabendu dan Terbitnya Kalasuba dapat meninggalkan luka yang dalam bagi para korban dan masyarakat.
Mengatasi trauma ini membutuhkan waktu dan dukungan yang berkelanjutan dengan langkah berikut.
* Menghilangkan Ketidakpercayaan: Ketidakpercayaan antara pihak-pihak yang berbeda pandangan dapat menjadi hambatan besar untuk rekonsiliasi. Membangun kembali kepercayaan membutuhkan waktu, kesabaran, dan tindakan nyata.
* Menghindari Politisasi: Rekonsiliasi rentan terhadap politisasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Penting untuk menjaga agar proses rekonsiliasi tetap inklusif dan berorientasi pada kepentingan korban dan masyarakat luas.
Kasus Kalabendu dan Terbitnya Kalasuba:
Peristiwa Kalabendu dan Terbitnya Kalasuba di Pilpres 2024 ini merupakan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Rekonsiliasi atas peristiwa ini penting untuk memberikan keadilan kepada 'para korban', membangun kembali kepercayaan, dan mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan. Namun, proses rekonsiliasi ini tidak mudah dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak.
Berikut beberapa poin yang dapat dipertimbangkan:
Trauma dan Luka Bangsa: