Kiai Imad dan Sedikit Jejak Hitam-Putih Fam Ba'alawi dan Para Sayyid di Nusantara

- 11 Agustus 2023, 14:46 WIB
Aguk Irawan MN.
Aguk Irawan MN. /Foto : Istimewa

Oleh Aguk Irawan MN.

DESK DIY -- Belakangan nama Kiai Imad (Imaduddin Utsman al-Bantani) amat populer di media sosial. Ia diyakini menguasai banyak fan pesantren, seperti fikih, ushul, tafsir dan ilmu alat. Salah satu pemikiran Kiai Imad yang menghentak ruang publik adalah tentang terputusnya nasab keluarga Ba’alawi kepada Rasulullah saw., baik dalam sudut pandang ilmu nasab maupun ilmu genetika.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, Kiai Imad nampak melangkah keluar jalur dari keilmuan nasab dan menginjakkan kakinya sedikit ke dalam kajian sejarah Islam Nusantara. Salah satu pemikiran Kiai Imad di bidang sejarah adalah hipotesisnya tentang peran keluarga Ba'alawi dalam sejarah Nusantara dan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang Nol-Prestasi. Banyak fakta historis yang disebutkan secara detail oleh Kiai Imad untuk menafikan jasa-jasa keluarga Ba'alawi di Indonesia.

Tampaknya, dalam wacana sejarah, Kiai Imad nampak terburu-buru dan terkesan tidak sebrilian dalam kajian ilmu nasab. Tentu pendapat ini, penulis tarik dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tentu jika kita menelaah pendapat Yusuf bin Ismail an-Nabhani (w. 1350 H.) dalam kitabnya “Jami' Karamat al-Awliya',” terbitan Mesir, Dar al-Kutub al-Arabian al-Kubra, tanpa tahun.

Baca Juga: JNE Dukung Pembangunan Rumah Sakit Hasyim Asy'ari Jombang

Dalam kitab itu, An-Nabhani menjelaskan peran tokoh Ba’alawi di Batavia pada abad 20 begitu dominan, satu diantaranya adalah ketika Yusuf an-Nabhani menjelaskan, pada 14 Sya'ban 1320 H./15 November 1902 dirinya mendapatkan beberapa tulisan dari seorang yang alim, beradab, banyak amal kebaikannya, tawadhu', dermawan, berakhlakul karimah, dan memiliki sifat-sifat yang indah.

Nama habib keturuan Balawi itu adalah Habib Abdullah bin Alawi bin Abdullah al-'Atthas, yang bermukim di Bandar Betawi. Beliau menyebarkan ilmu pengetahuan dan mengajarkan syariat Muhammad (hlm. 359).

Kedua, jasa Ba'alawi di Nusantara ini juga tak bisa dipandang sebelah, salah satunya ketika mereka mengajarkan Aswaja dengan empat mazhab, menegakkan keadilan dengan undang-undang, dan kemakmuran rakyat dengan cara nelayan, pertanian, pertukangan dan perdagangan yang yang lebih efektif. (Sumber: Naskah Tambo Minangkabau MS Ml 40 koleksi PNRI, h. 11, dan Undang-undang Minangkabau, ditulis di Pagaruyung hari Senin tanggal 8 Syawal 1180 H/9 Maret 1767 M. Naskah RAS Maxwell Malay 047, f 41v).

Baca Juga: Candi Borobudur Miliki Nilai Spiritualitas dan Religiusitas

Ketiga, dalam sejarah Kesultanan Islam di seluruh Nusantara, hampir bisa dipastikan di belakangnya ada fam Al-Qodri Ba’lawi. Untuk menyebut sedikit nama, diantaranya ada perancang lambang Garuda, yaitu Alhabib Abdul Hamid Alkadri. Lalu perancang bendera merah putih kita adalah Alhabib Idrus Salim Aljufri, pencipta lagu Hari Merdeka kita adalah Alhabib Husain Muthahar, dan lain sebagainya. Bukankah ini sudah cukup bukti kita anggap mereka itu,

Memang berbeda dari harapan Kiai Imad, yang membayangkan keluarga Ba’alawi ikut bertempur mengangkat senjata melawan kolonial. Peran di bidang politik dan pendidikan dinilai tidak setara dengan peran di medan tempur. Kiai Imad mungkin sedang lupa pada ayat-ayat al-Qur’an, karena ketidaksukaan yang berlebihan terhadap keluarga Ba’alawi. Allah swt berfirman:

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (Qs. at-Taubah: 122).

Baca Juga: Gandeng UGM, Bank BTN Ajak Mahasiswa Jadi Developer Muda

Bahkan, kehadiran Kaum Ba’alawi di Nusantara lebih awal atau sezaman dengan era Walisongo. Itu berdasarkan keterangan Abdurrahman bin Muhammad Masyhur (w. 1320 H.) dalam kitabnya “Syamsu al-Zhahirah fi Nasab Ahl al-Bayt min Bani 'Alawi: Furu' Fathimah al-Zahrah wa Amir al-Mukminin 'Ali radhiyallahu 'anhum,” terbitan 'Alam al-Ma'rifah, Saudi Arabia, 1984. Abdurrahman Masyhur mengatakan:

Keluarga besar Sayyid Abu Bakar Basyaiban (w. 800H.) bin Imam Muhammad Asadullah (w. 778 H.) bin Hasan at-Turabi bin Ali Faqih Muqaddam berpencar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, Hijaz, dan India. Bahkan sekarang mereka sudah tidak ada lagi di Hadramaut. Putra Sayyid Abu Bakar Basyaiban yang bernama Ahmad memiliki keturunan, di antaranya: Umar bin Muhammad bin Ahmad (hlm. 447)

Tetapi perlu diketahui, sekalipun keluarga Ba’alawi sudah datang ke Nusantara sejak awal dan berjuang di dunia pendidikan, tetap tidak ada konsep manusia ma’shum dalam Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Konsep manusia ma’shum hanya berlaku di kalangan kaum Syi’ah. Karenanya, oknum-oknum dari keluarga Ba’alawi maupun sebagian kecil keturunan Walisongo juga tidak ma’shum.

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah