NU dan Genealogi Diskursus Politik Kekuasaan

10 Januari 2024, 11:26 WIB
Dr Aguk Irawan MN. /Foto : IG @agukirawanmn

Oleh : Dr Aguk Irawan MN

DESK DIY - Sebelum menggunakan nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kita mengenalnya dengan nama Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO). Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, HBNO menggelar Muktamar ke-13 yang patut direfleksikan kembali, di Pandeglang Banten tahun 1938.

Kala itu suara warga Nahdliyyin terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang ingin melibatkan HBNO dalam politik praktis, dan kedua, mereka yang menolak gagasan tersebut. Pada akhirnya, Muktamar HBNO tahun itu memutuskan untuk tetap kembali ke Khitthah 1926.

Sejak awal didirikan, HBNO adalah Jam'iyyah Diniyyah (organisasi keagamaan). Maksudnya, HBNO tidak ingin cawe-cawe dalam Volksraad (Lembaga Dewan Rakyat) di era kolonial Belanda. Jadi, Muktamar ke-13 tahun 1938 itu sejatinya ingin melibatkan HBNO dalam Volksraad tersebut.

Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari paham betul bahwa melibatkan diri dalam politik praktis Volksraad sama saja dengan melanggengkan kekuasaan kolonial Belanda. Padahal, cita-cita kemerdekaan sudah mendarah daging di tubuh seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Requiescat in Pace

Kesempatan itu datang, ketika era kolonial Belanda berakhir di tangan Jepang. Hanya saja, pemerintahan Jepang menginginkan keterlibatan aktif bangsa Indonesia dalam politik praktis. Mau tidak mau, Masyumi pun didirikan pada tahun 1943. Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari menjadi pimpinan tertinggi Masyumi.

Bergabungnya HBNO ke Masyumi saat itu belum mengubah status dan masih menjadi Jam'iyyah Diniyyah. Perubahan HBNO menjadi sepenuhnya partai politik terjadi ketika HBNO memutuskan diri keluar dari Masyumi, dan mendirikan Partai Nahdlatoel Oelama dan aktif dalam Pemilu 1955.

Dari sinilah hukum siklus sejarah terjadi. Sebelum kemerdekaan, suara warga NU menginginkan NU menjadi partai politik. Setelah kemerdekaan, suara warga NU menginginkan NU kembali ke Jam'iyyah Diniyyah, sesuai niatan awal pendirian NU tahun 1926 atau disebut Khitthah NU.

Setidaknya, ada tiga kali Muktamar NU yang mengamanatkan kembali ke Khitthah, yaitu Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979, Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dan Muktamar ke-28 di Krapyak tahun 1989. Semuanya menyuarakan kembali ke Khitthah 1926, dalam artian tidak ikut dalam pengerahan masa untuk politik praktis (kekuasaan), tapi politik keummatan dan kebangsaan.

Baca Juga: Mahfud MD Nyatakan Tidak Ada Rahasia Negara yang Dibongkar di Debat Capres

Dalam anggaran dasar 1926 NU menetapkan visi-misinya untuk mengembangkan Islam berlandaskan ahlusunnah waljamaah. Tujuan itu diusahakan dengan:

(1) Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran empat mazhab. (2) Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. (3) Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab. (4) Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. (5) Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin. (6) Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.

Dari enam langkah di atas tidak satupun yang mengindikasikan adanya nuansa politik dalam pergerakan NU. Namun visi keagamaan yang digeluti NU sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Acuan utama yang digunakan NU, yaitu fiqih mazhab, yang cakupan masalahnya tidak hanya fiqih ibadah, tapi juga muamalah dan siyasah yang banyak menyinggung persoalan politik, seperti imamah, imaratul jays dan al-bughat, yang itu beririsan dengan politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.

Baca Juga: Indonesia Akan Berangkatkan 241 Ribu Jemaah Haji

Perlu dicatat bahwa keputusan NU menjadi partai politik maupun kembali ke Khitthah adalah sama-sama produk politik. Yang pertama disebabkan oleh kekecewaan NU pada Masyumi. Yang terakhir disebabkan kekecewaan NU pada PPP setelah fusi tahun 1973. NU kecewa pada Masyumi, dan karenanya mendirikan Partai NU. Dan NU kecewa pada PPP, dan karena memilih kembali ke Khitthah. Tapi, NU mendirikan PKB tahun 1998.

Keputusan PBNU menjadi partai NU sama dengan keputusan PBNU mendirikan PKB. Dua-duanya sama-sama untuk menciptakan saluran aspirasi politik warga Nahdliyyin. Terlepas NU sendiri yang menjelma partai politik atau NU menjadi dalang utama pembentukan partai politik adalah soal strategi yang relevan di zamannya.

Kepemimpinan Gus Dur di PBNU sama dengan kepemimpinan Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari di HBNO. Gus Dur dan kolega mendirikan PKB, dan Mbah Hasyim berserta kolega merintis Masyumi. Jadi, PKB dan Masyumi adalah dua produk pemikiran Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari dan Gus Dur.

Baca Juga: Meski Dikritik, Jokowi Nyatakan Bansos Tetap Disalurkan

Terakhir, karena berpolitik praktis adalah hak warga negara dan NU sudah tegas dengan khittahnya, maka pejabat struktural NU yang kampanye harus non aktif sementara, supaya leluasa dan secara etika menghargai ADRT NU. Alurnya seterang ini! Wallahu'alam bishawab.

(Penulis adalah Pengasuh Ponpes Baital Kilmah)

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler