Ada desa wisata yang memang dibangun dan dikembangkan di atas tanah kas desa, tapi tidak sedikit juga yang memanfaatkan tanah kas desa sebagai area pengembangan dari destinasi wisata. Misalnya untuk area outbond, camping ground dan lain sebagainya.
“Harus diakui, sebagian juga belum mengantongi izin dari gubernur. Maka perlu ada solusi terbaik. Karena tidak mungkin juga kan kalau desa wisatanya lantas tidak beroperasi. Karena bagaimanapun aktivitas di desa wisata telah membantu perekonomian warga. Mungkin kami harus memohon adanya diskresi atas kasus seperti ini. Sebab di lapangan, nyata pemanfaatan tanah kas desa itu bukan untuk kepentingan perorangan, tapi untuk warga,” katanya.
Baca Juga: Sosok Arnanto Nurprabowo yang Peduli Santri di DIY. Sedekah Mushaf Alquran Hingga Bibit Tanaman
Ishadi menyampaikan hal ini, lantaran banyak pengelola desa wisata yang hadir dalam diskusi tersebut, mengungkapkan permasalahan terkait pemanfaatan tanah kas desa. Tidak sedikit pengelola desa wisata yang harus gigit jari tidak bisa menerima bantuan sarana prasarana, karena mereka belum mengantongi izin pemanfaatan tanah kas desa dari gubernur.
“Kami harus bertindak adil. Pengelola desa wisata yang memanfaatkan tanah kas desa dan belum mengantongi izin dari gubernur, tidak bisa mendapatkan bantuan sarana prasarana,” lanjut Ishadi.
Sementara itu GKR Hayu mengakui pihak kraton kini terus melakukan pendataan atau inventarisasi tanah Sultan Ground (SG). Hal ini terkait dengan banyaknya tanah yang "hilang" setelah diadakan pengecekan.
KGR Hayu juga menyebut bahwa tanah kas desa/tanah SG juga banyak digunakan yang tak sesuai dengan ketentuan tata ruang dan pemanfaatan.
Terkait dengan pengembangan desa wisata, GKR Hayu menyarankan agar melibatkan Karang Taruna daerah setempat, termasuk dalam pemanfaatan sistem informasi digital seperti media sosial.
Ia menginformasikan bahwa ada Karang Taruna di DIY yang sukses mengelola media sosial dengan jumlah pengikutnya yang fantastis 5 juta orang.