Esei Gus Nas Jogja
Demokrasi, dalam imajinasi liar seorang penyair, bagaikan belimbing sayur: memiliki rasa manis dan asam.
Manisnya terasa ketika rakyat dapat memilih pemimpinnya, menyuarakan pendapatnya, dan menikmati hak-haknya.
Asamnya muncul ketika demokrasi diwarnai dengan korupsi, nepotisme, dan lemahnya oposisi.
Demokrasi bagaikan belimbing sayur hanyalah diksi puisi. Ia idealnya memiliki rasa asam manis yang seimbang. Asam mewakili suara kritis dan manis mewakili suara pro-pemerintah.
Keseimbangan ini penting untuk menjaga kesehatan demokrasi.
Baca Juga: Lezatnya Ayam Pop Bikin Ketagihan. Ini Resep Rahasianya
Namun, saat ini kita melihat fenomena "matinya oposisi". Suara kritis semakin membisu, bukan karena dibungkan oleh represi kekuasaan, melainkan kepuasan rakyat dan suara pro-pemerintah mendominasi. Hal ini membuat demokrasi bagaikan belimbing sayur yang kehilangan rasa asamnya.
Analogi belimbing sayur hanya sebagai ilustrasi dan tidak dimaksudkan untuk mereduksi kompleksitas demokrasi.
Di Indonesia, demokrasi masih terus berkembang. Kita telah merasakan manisnya demokrasi, seperti pemilihan umum yang bebas dan adil, serta kebebasan pers. Namun, rasa asamnya pun masih terasa, seperti maraknya korupsi, politik uang, dan lemahnya oposisi.