Memahami Perayaan Malam Satu Suro yang Sakral

- 18 Juli 2023, 13:18 WIB
Malam Satu Suro di Kompleks Makam Raja Mataram Islam, Kotagede Yogyakarta.
Malam Satu Suro di Kompleks Makam Raja Mataram Islam, Kotagede Yogyakarta. /Foto : FB @Natsir Dabey

DESK DIY --- Masyarakat Kota Solo berkumpul dan berdesak-desakan di sekitar Keraton Surakarta hingga sepanjang jalanan kota. Pada malam itu kirab hendak digelar dan Kebo Bule yang ditunggu-tunggu masyarakat juga akan diarak keluar.

Itulah kondisi perayaan malam Satu Suro. Malam spesial yang masih dianggap memiliki nilai ritual sakral dan sering dianggap mistis, keramat sekaligus penuh berkah.

Sebagian besar masyarakat Jawa masih menganggap bahwa malam Satu Suro adalah malam istimewa. Di banyak daerah perataan tradisi memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini masih dirawat dan dilakukan.

Baca Juga: Puisi Gus Nas : Munajat Hijrah

Khusus di lingkungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, beragam ritual dan kirab digelar, dan ribuan warga meramaikannya penuh suka cita.

Dalam catatan sejarah, tradisi malam Satu Suro sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Saat masa itu masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Penyatuan kalender Saka dan Hihrah ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Baca Juga: Nezar Patria, Jurnalis Putra Aceh yang Dipercaya Jadi Wakil Menteri Kominfo

Kata “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”. Kata Asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam, yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak).

Kemudian Sultan Agung mewujudkan pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai kegiatan ritual perayaan Muharam dan Asyura di Indonesia hingga kini masih lestari. Hingga Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta bersama masyarakatnya masih merawat dan merayakannya tradisi malam Satu Suro setiap tahunnya.

Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib. Sebab, pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dan bukan pada tengah malam.

Baca Juga: Djan Faridz dan Gandi Sulistiyanto Dilantik Jadi Wantimpres

Beragam tradisi seringkali digelar untuk menyambut bulan Suro seperti jamas pusoko, ruwatan, hingga tapa brata. Dalam tradisi keraton, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda pusaka.

Di Keraton Surakarta, peringatan Satu Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana. Kemudian ada kirab pusaka di luar tembok keraton dan mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa.

Kehadiran Kebo Bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam Satu Suro. Ia bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo.

Baca Juga: Strategi Joko Suranto Nahkodai REI : Bikin Database Properti Digital hingga Perjuangkan UU

Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kiai Slamet.

Dalam kirab Satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran Kebo Bule. Kotoran Kebo Bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.

Sementara di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Baca Juga: Strategi Joko Suranto Nahkodai REI : Bikin Database Properti Digital hingga Perjuangkan UU

Tradisi malam Satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam Satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Menurut Hersapandi dkk dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni, konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam Hindu dan Buddha. Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengeliling benteng sesuai arah jarum jam. Sedangkan prasawya yaitu ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam.

Jika orang berjalan dengan menggunakan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan menggunakan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup (batiniah).

Baca Juga: Sepak Terjang Budi Arie Setiadi yang Akan Dilantik Jadi Menteri Kominfo

Ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut satu Suro. Tapi umumnya melakukan “laku prihatin” untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Demikian cara memahami tradisi Satu Suro dalam perspektif Jawa dan dikaitkan dengan kalender Hijrah. Selamat Tahun Baru Saka dan Hijriyah. ***

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah