Elegi Idul Fitri
Gempita takbir yang tengah berpesta di langit biru itu ternyata bukan milikku
Sesudah sebulan dilaparkan hingga di sudut-sudut perut dan menghatamkan kitab-kitab dahaga sampai paripurna, ternyata nafsuku tetap gagah meronta
Sebulan penuh bicara dari hati ke hati apa itu puasa tapi ternyata aku hanyalah ember bocor yang menumpahkan syahwat di pelosok dunia
Kemenangan itu meninggalkanku sendiri dalam penjara 11 bulan berikutnya bersama ribuan ekor kera berikut ketamakan dan keserakahannya
Jika pantas kukata, laparku hanya sandiwara dan dahagaku lebih layak dinamakan drama, sebab kemaruk dan kerakusanku pada lenggang-lenggok maksiat kata-kata telah bersimpul pada takabur belaka
Niatku ingin mematikan nafsu pada pangkalnya
Memancung syahwat hingga akarnya
Tapi lidahku terus terlena menyantap lezat daging saudara sendiri dengan tak henti-henti mengunyah fitnah dan ghibah di lapak linimasa
Jempol tanganku tak juga menyadari dosa-dosanya dengan terus menyebarkan desis ular berbisa dan gonggongan celeng penuh jumawa
Masih adakah sisa-sisa waktu di puncak puasa ini untukku bermawas diri dengan meledakkan takbir di dada hingga pecah segala pongah hingga runtuh seluruh keruh hingga memancar cahaya iman yang murni lalu memeluk takwa sejati sekuat-kuatnya?