Malioboro : Simbol Kekompakan Seniman, Sastrawan dan Budayawan

- 7 Maret 2023, 23:40 WIB
Suasana di Titik Nol Malioboro.
Suasana di Titik Nol Malioboro. /Foto : Mustofa W Hasyim

DESK DIY -- Malioboro pernah menjadi simbol kekompakan seniman, sastrawan dan budayawan Yogyakarta.

Tahun-tahun akhir 1960an sampai akhir 1980, jadi selama dua dekade Malioboro menjadi pusat pasrawungan kreatif atau pergaulan kreatif para pelaku seni, sastra dan budaya. Hari hari itu terasa sekali kekompakan mereka.

Dari kegiatan dan aktivitas berkesenian dan olah budaya serta pemikiran yang berkualitas antarmereka terbentuk apa yang di kemudian hari dikenal sebagai poros Gampingan - Malioboro - Bulaksumur.

Baca Juga: Pernik Pernik Unik Seputar Adzan di Yogyakarta

Di Gampingan ada kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang mahasiswanya seangkatan Bonyong Muni Ardi bisa cair bergaul dengan para sastrawan Malioboro yang bergabung dengan Persada Studi Klub yang dikomandani Umbu Landu Paranggi, juga bisa akrab dengan para mahasiswa lintas fakultas di UGM yang gemar bersastra dan berbudaya, yang dikomandani Pak Umar Kayam, Darmanto Yatman dan Ashadi Siregar dan aktivis koran kampus Gelora Mahasiswa.

Poros pergaulan kreatif yang layak disebut sebagai sumbu kultural ini di sebelah barat diperkaya dengan hadirnya kelompok Bengkel Teater dengan komandan WS Rendra (Ketanggungan), hadirnya mahasiswa ASDRAFI (timur pasar Ngasem) bersama aktivis Sanggar Bambu (utara Pasar Ngasem) dan di sebelah utara hadir aktivis seni budaya dari UII yang tergabung dengan majalah Muhibah (Jl Cik Di Tiro).

Hadir pula mahasiswa IKIP Negeri yang tergabung dalam Teater Unstrat dan koran kampus Derap Mahasiswa (Karangmalang) dan ke timur lagi para mahasiswa pecinta seni budaya dari IAIN Sunan Kalijaga yang tergabung di majalah Arena, Teater Eska dan Sanggar Nun (Sapen) ikut menambah gegap gempitanya dunia pemikiran dan penciptaan karya seni budaya di Yogyakarta.

Baca Juga: KIPM Yogyakarta Imbau DKP Kabupaten Cilacap Batalkan Tebar Benih Nila, Begini Alasannya

Dalam pergaulan sehari-hari adalah biasa seniman sastrawan lintas bidang ini saling tolong menolong.

Malioboro sebagai pusat magnet pemikiran dan aktivitas penciptaan karya didukung oleh 'infrastruktur' budaya literasi.

Hadirnya koran harian, mingguan, buku, majalah, perpustakaan yang lokasinya berdekatan menjadi bukti. Koran Kedaulatan Rakyat, Majalah Minggu Pagi, Majalah Mekar Sari ada di titik paling utara, di Taman Garuda ada Mingguan Sendi yang kemudian kena bredel, di dekat Perpustakaan Negara ada kantor Pelopor Minggu, di barat air mancur pusat kota ada kantor Mingguan Eksponen, di Jl Mayor Suryotomo ada kantor koran Harian Masa Kini dan di selatan Klenteng Gondomanan ada kantor koran Berita Nasional, di Bintaran ada kantor majalah remaja Semangat dan di jalan Tamansiswa ada kantor majalah Pusara.

Baca Juga: Atasi Kemacetan di Yogya, Bus Pariwisata Harus Parkir di Pinggiran Kota

Saat itu di utara Tugu Golong Gilig ada toko buku Gunung Agung, di Jl Mangkubumi ada toko buku Pembangunan dan Pradana Paramita, di Malioboro ada toko Buku Hien Hoo Sing, penerbit UPI Indonesia, di KHA Dahlan ada penerbit Persatuan, Toko buku Usaha Kita. Di Gondomanan ada penerbit dan toko buku Spring.

Di sebelah kantor koran Berita Nasional dan di selatan Benteng Vredeburg ada dua baris kios buku dan komik bekas. Media cetak harian mingguan berbagai daerah termasuk terbitan Jakarta mulai dipajang di kios kios ketika kios buku dan komik ditertibkan dan diberi lokasi di Shopping Center.

Para seniman perupa yang ingin memamerkan karya bisa menggunakan gedung Seni Sono. Aktivis teater bisa memilih tampil di Seni Sono, Gedung PPBI atau di Sport Hall Kridosono. Tembok tembok besar yang banyak terdapat di kota Yogya menjadi lokasi menempel poster jumbo untuk publikasi pentas teater atau pentas sastra nasional.

Mereka yang ingin tampil sederhana, misalnya baca puisi bisa memanfaatkan ruang sastra di Radio RRI dan radio-radio Swasta Niaga yang hampir semua ada rubrik atau ruang siaran sastra. Radio Retjo Buntung, Arma Sebelas, Rasia Lima, Suara Istana, PTDI Kota Perak misalnya secara rutin didatangi penyair dan mahasiswa yang ingin memperagakan kebolehannya membaca puisi.

Jangan dilupakan, Malioboro juga menjadi pusat tumbuhnya musik alternatif yaitu musik yang berbasis puisi. Puisi mereka yang berkarya kemudian dilagukan dalam format musik pop (Ebiet G Ade), dalam bentuk poetry singing (Deded Er Moerad) lagu puisi (Untung Basuki) musik penghidup suasana teater (Bram Makahekum, Nono Diono Wahyudi).

Mengapa para seniman, para sastrawan dan budayawan itu bisa kompak dan asyik berbincang serta asyik berkarya ketika mereka menjadikan Malioboro sebagai titik penting dari matarantai pergaulan kreatif mereka? Karena mereka menggunakan satu bahasa dan satu semangat: bahasa kemanusiaan dan semangat kemanusiaan. Sebuah bahasa dan semangat tanpa sekat ideologi politik dan ideologi lainnya. Bahasa dan semangat kemanusiaan yang sekarang terasa samar samar di Yogyakarta. (Mustofa W Hasyim). ***

Editor: Mustofa W Hasyim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x