Belajar Toleransi dari Mataram Islam

- 8 Maret 2023, 17:00 WIB
Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede.
Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede. /Foto : Chaidir

Secara paradigmatik, harmonisasi agama dan budaya akan terwujud jika pemikiran keagamaan diletakkan dalam kerangka pandangan antroposentris yang meletakkan kepentingan manusia sebagai inti persoalan kehidupan. Paradigma ini menuntut inovasi pemikiran keagamaan secara terus menerus dalam bingkai kehidupan dan budaya manusia, sehingga agama dapat memberi kontribusi bagi kemaslahatan manusia.

Kemanusiaan menempati posisi penting dalam setiap agama, oleh karenanya, agama harus terpanggil untuk mengabdikan karya-karyanya guna menguatkan hubungan dengan Tuhan yang dikonkretkan dalam karya kemanusiaan. Dalam karya kemanusiaan itulah agama benar benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat, bahkan mampu mendorong dinamika kehidupan beragama secara dewasa dalam merespons/mengapresiasi realitas kemajemukan dan segala permasalahan yang ditimbulkan.

Sebagaimana diketahui sebelum kedatangan Islam sudah ada kepercayaan yang begitu kuat di Nusantara, yaitu kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha.

Baca Juga: KIPM Yogyakarta Imbau DKP Kabupaten Cilacap Batalkan Tebar Benih Nila, Begini Alasannya

Pertemuan Islam dengan seluruh lapisan masyarakat Nusantara yang sudah terlebih dahulu memiliki tradisi yang sudah mengakar disebabkan karena watak Islam yang sangat akomodatif dengan adat istiadat dan kebudayaan suatu masyarakat. Agama, pada dasarnya adalah non teritori, Islam di luar Arab tidak mesti sama dengan Islam Arab, hal ini bisa disebabkan karena perbedaan iklim dan lingkungan budaya, bahasa, perilaku, dan cara berbusana Islam yang antara satu negeri dengan negeri yang lain tentu terdapat perbedaan.

Kedatangan Islam di kawasan Nusantara membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap kehidupan keberagamaan masyarakat saat itu tanpa membongkar tradisi yang telah berurat berakar ditengah masyarakat.

Pada masa Rosululloh Muhammad Saw, Islamisasi nilai dan budaya jahiliyah merupakan bagian dalam pola pembentukan hukum\syariat Islam. Tradisi jahiliyah yang sudah esthablish dan menjadi bagian dari kehidupan mereka, secara selektif kemudian direkontruksi sedikit demi sedikit\gradual, baik tata upacara ataupun nilai nilai dan filosofinya dan kemudian diformalkan sebagai bagian dari syariat Islam.

Baca Juga: Atasi Kemacetan di Yogya, Bus Pariwisata Harus Parkir di Pinggiran Kota

Sebagai contoh, upacara Aqiqoh pada mulanya adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah yang melakukan upacara persembahan ketika mereka dianugerahi anak laki laki yang dianggapnya merupakan kehormatan keluarga. Sebagai wujud kebanggaan mereka atas karunia anak laki-laki, kemudian mereka menyembelih biri biri dihadapan berhala yang menjadi sesembahan mereka. Ketika darah mengalir dari leher biri biri, kemudian ditampung dengan kedua tangan dan dioleskan ke kepala bayi yang dibawa serta didepan arca tersebut dengan harapan anak mereka kelak akan menjadi seorang pemberani dalam perang ataupun menjadi perampok ulung.

Islam Tidak Menghapus Kebiasaan

Halaman:

Editor: Chaidir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x