Belajar Toleransi dari Mataram Islam

8 Maret 2023, 17:00 WIB
Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede. /Foto : Chaidir

Oleh : H. Abdul Muhaimin

DESK DIY -- Yogyakarta sebagai penerus Mataram Islam memiliki sejarah panjang dalam mengelola dinamika akulturasi entitas kebhinekaan yang ditandai oleh situs Mataram pertama yang masih berdiri kokoh yakni masjid Mataram Kotagede yang dibangun pada tahun 1604 .

Pada umumnya arsitektur masjid seringkali didominasi oleh model bangunan yang mengacu gaya arsitektur Timur Tengah dengan lengkungan-lengkungan ataupun menara menjulang tinggi yang merupakan ciri khas bangunan tempat ibadah umat Islam.

Namun masjid Mataram Kotagede berbentuk bangunan khas Jawa, dikelilingi oleh pagar tembok bergaya Hindu Bali. Perpaduan tiga unsur yang berbeda yakni Islam, Jawa dan Hindu menunjukkan bahwa sejak awal Kerajaan Mataram Islam telah mengabadikan harmoni antar agama dan sekaligus budaya dalam situs yang sakral yakni Masjid Mataram.

Baca Juga: Ingin Pasang PLTS Atap, Jangan Asal Pilih Inverternya

Lebih unik lagi, upaya harmonisasi itu seolah olah menabrak aturan baku dalam fiqh/hukum Islam yaitu menyatukan bangunan masjid dan kuburan. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang mengharamkan pembuatan masjid dekat kuburan orang orang shalih, sebagaimana hadist riwayat Aisyah r.a "Laknat Allah kepada orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid" (Riwayat bukhari dan muslim).

Larangan tersebut didasarkan pada kehawatiran terjadinya penyembahan ruh nenek moyang sebagaimana berlaku dimasyarakat Jahiliyyah. Namun melalui pendekatan spiritualitas Jawa yang juga meyakini kekuatan roh, keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman bagi setiap muslim yang datang ke Masjid agar selalu ingat mati, demikian pula bagi siapapun yang mengunjungi kuburan agar segera ingat masjid untuk beribadah guna mencari bekal akhiratnya.

Jika kita lacak jauh sebelumnya, akar-akar harmoni dan toleransi beragama di Yogyakarta, sesungguhnya telah tertanam sejak masa Hindu dan kemudian era Budha hingga pada abad ke 8. Hal itu dapat dibuktikan dengan berjajarnya 2 bangunan suci yang berbeda yakni Candi Sewu yang menjadi tempat pemujaan pemeluk Budha yang bersanding dengan kebesaran Candi Prambanan sebagai pusat pemujaan agama Hindu terbesar di Nusantara.

Baca Juga: Membangun Citra Sarkem yang Bermartabat Melalui Festival Budaya

Dengan surutnya 2 agama besar yakni Hindu dan Budha, kemudian berdiri Mataram Islam, kelangsungan harmoni dan toleransi tersebut tetap dilestarikan dengan mengadopsi berbagai bentuk arsitektural, adat istiadat, nilai dan norma dalam konsep budaya Islam Jawa.

Kemampuan para Wali dalam mengextraksi peninggalan ajaran agama sebelumnya dan kemudian diformulasikan dalam konsep Islam, menjadikan Islam di tanah Jawa sangat akulturatif dengan budaya lokal dan kaya dengan muatan etika, kemanusiaan dan spiritualitas. Kekayaan ajaran Islam Jawa tersebut dapat dilihat dalam berbagai simbol yang melekat dalam segenap aspek kehidupan maupun dalam bentuk pitutur luhur yang meresap dalam kehidupan sehari-hari

Yogyakarta sebagai kawasan administratif tidak lepas dari tanda-tanda sejarah terjadinya proses akulturasi dalam menerima kehadiran etnik selain Jawa sebagaimana terdapat pada nama nama kampung seperti Bugisan, Daengan bahkan terabadikan dalan satuan prajurit Kraton seperti Bregodo Bugis, Daeng serta pernik pernik kebudayaan etnis dari luar Jawa yang tetap mendapatkan ruang hidup hingga sekarang.

Baca Juga: Malioboro : Simbol Kekompakan Seniman, Sastrawan dan Budayawan

Filosofi dan ajaran Kraton Ngayogyakarta yang mengedepankan pertanggung jawaban bagi keselarasan dan ketenteraman seluruh warga Yogyakarta sebagai tercermin dalam Sesanti Hamemayu Hayuning Bawana. Oleh karena itu setiap pemimpin yang memilki otoritas dan kebijakan harus mampu menjadi songsong Agung Kawulo Mataram.

Membangun Harmoni Agama dan Budaya

Ditinjau dari segi etimologi, harmoni berasal dari bahasa Inggris harmonious yang berarti rukun, seia-sekata; harmonious relationship yang berarti hubungan yang rukun; harmonize yang berarti berpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmonis berarti keselarasan dan keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras. Dalam kamus ilmiah populer diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Ditinjau dari segi terminologi, harmoni adalah keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus.

Jadi harmoni yang sebenarnya adalah, semua interaksi sosial yang berjalan secara wajar dan tanpa adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya kebebasan.

Baca Juga: Pernik Pernik Unik Seputar Adzan di Yogyakarta

Secara paradigmatik, harmonisasi agama dan budaya akan terwujud jika pemikiran keagamaan diletakkan dalam kerangka pandangan antroposentris yang meletakkan kepentingan manusia sebagai inti persoalan kehidupan. Paradigma ini menuntut inovasi pemikiran keagamaan secara terus menerus dalam bingkai kehidupan dan budaya manusia, sehingga agama dapat memberi kontribusi bagi kemaslahatan manusia.

Kemanusiaan menempati posisi penting dalam setiap agama, oleh karenanya, agama harus terpanggil untuk mengabdikan karya-karyanya guna menguatkan hubungan dengan Tuhan yang dikonkretkan dalam karya kemanusiaan. Dalam karya kemanusiaan itulah agama benar benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat, bahkan mampu mendorong dinamika kehidupan beragama secara dewasa dalam merespons/mengapresiasi realitas kemajemukan dan segala permasalahan yang ditimbulkan.

Sebagaimana diketahui sebelum kedatangan Islam sudah ada kepercayaan yang begitu kuat di Nusantara, yaitu kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha.

Baca Juga: KIPM Yogyakarta Imbau DKP Kabupaten Cilacap Batalkan Tebar Benih Nila, Begini Alasannya

Pertemuan Islam dengan seluruh lapisan masyarakat Nusantara yang sudah terlebih dahulu memiliki tradisi yang sudah mengakar disebabkan karena watak Islam yang sangat akomodatif dengan adat istiadat dan kebudayaan suatu masyarakat. Agama, pada dasarnya adalah non teritori, Islam di luar Arab tidak mesti sama dengan Islam Arab, hal ini bisa disebabkan karena perbedaan iklim dan lingkungan budaya, bahasa, perilaku, dan cara berbusana Islam yang antara satu negeri dengan negeri yang lain tentu terdapat perbedaan.

Kedatangan Islam di kawasan Nusantara membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap kehidupan keberagamaan masyarakat saat itu tanpa membongkar tradisi yang telah berurat berakar ditengah masyarakat.

Pada masa Rosululloh Muhammad Saw, Islamisasi nilai dan budaya jahiliyah merupakan bagian dalam pola pembentukan hukum\syariat Islam. Tradisi jahiliyah yang sudah esthablish dan menjadi bagian dari kehidupan mereka, secara selektif kemudian direkontruksi sedikit demi sedikit\gradual, baik tata upacara ataupun nilai nilai dan filosofinya dan kemudian diformalkan sebagai bagian dari syariat Islam.

Baca Juga: Atasi Kemacetan di Yogya, Bus Pariwisata Harus Parkir di Pinggiran Kota

Sebagai contoh, upacara Aqiqoh pada mulanya adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah yang melakukan upacara persembahan ketika mereka dianugerahi anak laki laki yang dianggapnya merupakan kehormatan keluarga. Sebagai wujud kebanggaan mereka atas karunia anak laki-laki, kemudian mereka menyembelih biri biri dihadapan berhala yang menjadi sesembahan mereka. Ketika darah mengalir dari leher biri biri, kemudian ditampung dengan kedua tangan dan dioleskan ke kepala bayi yang dibawa serta didepan arca tersebut dengan harapan anak mereka kelak akan menjadi seorang pemberani dalam perang ataupun menjadi perampok ulung.

Islam Tidak Menghapus Kebiasaan

Kehadiran Islam tidak menghapus kebiasaan itu malahan dilestarikan tetapi diubah prosesi dan filosofi maupun nilai-nilai yang berbau kemusyrikan dan menyimpang dari prinsip prinsip kemanusiaan. Oleh karena itu nabi Muhammad Saw bersabda, yang artinya :”Anak adalah barang gadai yang ditebus dengan penyembelihan, aqiqoh. Aqiqoh itu disembelih pada hari ketujuh, dan kemudian dipotong rambutnya dan diberi nama"

Model-model yang dilakukan oleh nabi Muhammad dalam mengubah kebiasaan negatif dengan secara bijak/hikmah itu kemudian diadopsi para wali dalam dakwahnya sehingga mampu mengubah adat istiadat yang bersifat animistik menjadi bagian ritus sebagai strategi dakwah yang memiliki daya takluk damai di tengah pluralitas suku dan budaya nusantara. Bahkan sesaji sesaji yang berbau mistik oleh para wali diganti dengan uborampe yang mengandung makna makna simbolik dan filosofis agar tidak menjurus pada prilaku musyrik yang sangat dilarang dalam agama.

Modus dakwah semacam itu menjadi penentu keberhasilan para wali dalam penyebaran Islam di Indonesia yang belum tertandingi oleh metode dakwah manapun sampai hari ini. Secara kuantitatif para wali berhasil menembus pusat-pusat Hindu dan Budha dengan damai tanpa merusak sistem sosial dan simbol simbol yang dipedomani masyarakat.

Secara kualitatif para wali telah berhasil membangun peradaban Islam di Jawa dengan kekhasan masing masing daerah. Dalam hal ini dakwah Sunan Kudus menjadi contoh menarik untuk menjadi kajian hubungan agama dan budaya, karena Sunan Kudus mampu mengintegrasikan agama dalam kekentalan budaya Hindu seperti yang tercermin dalam gaya arsitektural Masjid Menara Kudus yang sepenuhnya bercirikan arsitektur pura Hindu.

Malahan sampai sekarang masyarakat Islam di Kudus masih tabu menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap hewan yang disucikan oleh pemeluk Hindu sebelumnya. Kalau kita rujuk apa yang dilakukan oleh Sunan Kudus tersebut sejalan dengan firman Alloh dalam Al Qur,an yang termaktub dalam surat 6 ayat 108 yang artinya:

“Dan janganlah engkau memaki maki orang orang yang memohon kepada selain Alloh, karena mereka akan membalas memaki tuhanmu dengan tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka, lalu Dia akan memberitakan kepada mereka apa yang dulu telah mereka kerjakan”.

Walisongo sebagai sebagai pioner dakwah Islam di seantero nusantara mengambil jalan tengah sebagai bentuk moderasi dari dua model pemahaman keislaman yang kini marak di berbagai wilayah nusantara yakni Islam radikal dan Islam liberal. Klaim kebenaran tunggal oleh Islam radikal sebagai Islam yang murni dan kaffah menyebabkan tercerabutnya wajah keislaman Indonesia dari akar budaya dan pijakan sosial, sementara itu fenomena Islam liberal yang merujuk pada pemikiran barat ternyata mengingkari kearifan rasa, kesantunan pikir dan prilaku serta warisan spiritual masa lalu.

Pada dasarnya para wali tidak pernah melakukan pemaksaan dalam bentuk apapun terhadap kehidupan manusia Jawa dan tidak pernah menggusur jasa-jasa, situs sejarah, khazanah pemikiran dari para pendahulunya, tetapi justru mampu melestarikan budaya lokal peninggalan para pendahulu dan membangun tranmisi ilmu pengetahuan, ajaran keagamaan, sastra-seni, ilmu pemerintahan yang menghubungkan nusantara dengan Asia barat sebagai asal kedatanganya Islam ke kepulauan nusantara.

Proses-proses itu melahirkan sesuatu yang unik yang berbeda dengan asal budaya keislaman yang masuk ke Indonesia sehingga lahirlah Islam Melayu, Islam Aceh, Islam Jawa dan seterusnya. Islam nusantara telah melahirkan karya besarnya berupa kerajaan Islam yang tersebar di segenap sudut nusantara dengan kekhasan daerahnya sesuai kondisi Geo-Eko-Kultural dan tingkat religiositasnya.

Oleh karena itu, dalam pelestarian adat dan budaya yang kini giat dilakukan oleh berbagai pihak yang menjadi stakholder pengembangan kebudayaan dan kemasyarakatan harus senantiasa mengupayakan pengembangan budaya yang mengarah pada pengembangan budaya yang sesuai dengan ajaran agama dan norma susila ketimuran yang menjadi identitas bangsa Indonesia.

Bermula dari pesan Sunan Kalijogo kepada muridnya dalam mensikapi persentuhan budaya, Beliau sebagai pendakwah ulung yang mampu memadukan budaya lokal dan ajaran Islam yang datang kemudian mengatakan “Jebeng! Arape garapen, jawane gawanen“ dalam arti perbaikan kualitas agama Islam yang datang dari Arab harus tetap menjaga eksistensi budaya Jawa. Strategi yang digunakan oleh para wali, merupakan prinsip kehidupan modern yang berpedoman pada adagium think globaly-act lokaly agar identitas ke Indonesiaan tidak tergerus oleh infiltrasi budaya global.

Sejarahwan Arnold J. Toynbee mengingatkan :”Suatu bangsa yang tidak mampu merespons perkembangan zaman, lambat laun akan kehilangan identitas nasionalnya. Bangsa yang malang, yang kehilangan jatidirinya itu, niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia akan terpinggir dari parameter peradaban sejarah dan kemungkinan bangsa itu akan musnah". ***

 

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler