11 Tuntutan Aksi Massa Jaringan Gugat Demokrasi

12 Februari 2024, 21:43 WIB
unjuk rasa "Gejayan Memanggil Kembali" /Foto : Chaidir

DESK DIY - Ribuan pengunjuk rasa "Gejayan Memanggil Kembali" pada Senin 12 Januari 2024 mengeluarkan 11 tuntutan. Mereka melakukan demo di simpang 3 Gejayan Yogyakarta.

Para demonstran yang tergabung dalam Jaringan Gugat Demokrasi (Jagad) itu menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti dan menghentikan politisasi bansos.

Unjuk rasa dimulai di kawasan Bunderan UGM dan mereka melakukan simbolis pembunyian tujuh kentongan dan pemecahan tujuh kendi.

Baca Juga: Banner Politik Uang '200 Tak Coblos' Dicopot Bawaslu

Humas Jaringan Gugat Demokrasi, Sana Ulaili menjelaskan tujuh kepentingan yang dibunyikan di awal aksi bermakna sebagai angka tujuh atau pitu yang merujuk pada pitulungan atau pertolongan.

"Hari ini kita berkumpul untuk meminta pertolongan kepada semesta dan kepada semua orang yang masih peduli pada demokrasi hari ini," kata Sana.

Sementara tujuh kendi yang dipecahkan merupakan simbol tujuh dosa Jokowi. Pemecahan gentong tadi diharapkan membuat dosa-dosa itu enyah dan hancur.

"Kami berharap tujuh ketamakan Jokowi beserta rezim-rezimnya itu harus betul-betul dienyahkan, dihancurkan dari muka bumi ini," ungkapnya.

Baca Juga: Ditangani Dua Profesor, Asram Edupark Akan Dijadikan ‘Smart Village’

Massa selanjutnya melakukan longmarch dari Bunderan UGM ke Simpang Tiga Gejayan sebagai pusat aksi. Di situ massa membentangkan tiga spanduk besar. Selain itu para perwakilan demonstran juga menyampaikan sejumlah aspirasinya ikhwal situasi demokrasi terkini.

Aksi ini merupakan respons demokrasi saat ini yang disebut lahir dari kelancungan rezim yang mengebiri sistem demokrasi. Jagad merepresentasikan tekad para demonstran untuk menjadi saksi ketidak puasan atas pengebirian sistem demokrasi hari ini, juga memberontak atas rezim penguasa dan kroni-kroninya.

"Jokowi menutup kekuasaannya dengan menggunakan segala macam entitas kekuasaan seperti mahkamah kemudian melibatkan kroni-kroninya untuk kemudian mengeluarkan regulasi-regulasi yang betul-betul mencederai demokrasi," tegasnya.

Jokowi, kata Sana, dinilai tidak hanya menguasai sumber daya alam dalam dua periode terakhir, tetapi juga menguasai seluruh nalar kritis elemen negara. Bahkan lembaga-lembaga keagamaan menurut Sana tidak ada yang bersuara secara kritis untuk menyikapi situasi hari ini.

Baca Juga: Netralitas Petugas KPS Harus Bisa Dipastikan dan Tidak Memihak Dalam Pemilu 2024

Dalam aksi ini, demonstran Jaringan Gugat Demokrasi menyatakan 11 poin tuntutan. Tuntutan tersebut di antaranya yakni merevisi UU Pemilu dan partai Pembobolan badan independen. Lalu mengadili Jokowi dan kroni-kroninya.

Menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti. Menghentikan politisasi bansos. Mencabut UU Cipta Kerja dan Minerba. Menghentikan kepada militer dan menuntaskan pelanggaran HAM serta memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Menghentikan perampasan tanah. Menghentikan kriminalisasi aktivis lingkungan. Menjalankan pengadilan HAM. Melaksanakan pendidikan gratis dan mengesahkan UU PPRT.

"Maka kami menuntut satu, bahwa Jokowi karena telah terbukti melakukan pelanggaran konstitusi dan telah merusak etika demokrasi, dia harus dihukum, Jokowi harus turun, Jokowi harus kita kawal ketat tidak hanya pada 14 Februari tetapi seluruh elemen gerakan masyarakat sipil harus memastikan dia turun sebelum masa jabatannya," lanjutnya.

Di sisi lain, secara tegas Sana menyatakan aksi massa ini bukan lah kampanye untuk mendukung calon tertentu. Melainkan murni untuk menghentikan tirani rezim yang sedang berkuasa.

Baca Juga: Mustasyar PWNU DIY, Kiai dan Santri Gelar Doa Bersama Pemilu Damai

"Kami tidak sedang berkampanye 04. Kami tidak sedang bertambahnya 05, tetapi kita sedang mengampanyekan saatnya kita kritis, saatnya kita turun jalan untuk menghentikan tirani Jokowi," tandasnya.

Perwakilan BEM KM UMY, Siti Mauliyani menambahkan nima gerakan hari ini berangkat dari keresahan serta kemarahan beragam elemen terhadap berbagai macam bentuk pelanggaran serta penjatuhan marwah hukum.

"Kepentingan-kepentingan yang kemudian dibawa para elit politik hari ini bisa dikatakan sebagai para elit politik yang tuna etika dan tidak pernah memikirkan bagaimana kondisi masyarakat hari ini," ungkapnya.

Tidak hanya itu, Siti juga menilai jika demokrasi kini tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurutnya, demokrasi malah digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan elit politik.

Baca Juga: Tradisi Labuhan Merapi : Peninggalan Mataram Islam dan Wisata Budaya

"Demokrasi hari ini tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tapi dijadikan sebagai alat atau jembatan untuk melanggangkan kekuasaan para elit politik," tegasnya. ***

Editor: Chaidir

Tags

Terkini

Terpopuler