Toleransi Gaya Yogya Toleransi yang Produktif

- 9 Maret 2023, 07:46 WIB
Toleransi tak membedakan agama, suku, ras atau kelompok.
Toleransi tak membedakan agama, suku, ras atau kelompok. /Foto : Pixabay

DESK DIY -- Toleransi gaya Yogya adalah toleransi yang produktif. Produktif melahirkan kebajikan kemanusiaan. Toleransi yang proaktif. Bukan toleransi pasif.

Ketika ada tokoh beragama Katolik sakit mata, dia bersedia ditolong oleh aktivis Muslim Muhammadiyah untuk berobat secara alternatif pada Kiai NU misalnya. Imbal baliknya, tokoh yang beragama Kristen bersedia menolong teman yang beragama Islam untuk berobat pada tokoh agama Budha.

Tokoh beragama Kristen yang lain menolong sahabatnya yang Muslim untuk berobat pada tokoh Kejawen.

Baca Juga: Ketua Umum PBNU Apresiasi Peran PLN dalam Perayaan 1 Abad NU

Jadi dalam urusan kemanusiaan seperti ini tidak ada lagi sekat agama. Yang dibangun adalah ruang kebersamaan kemanusiaan, ruang saling tolong menolong.

Itulah yang dimaksud dengan toleransi produktif, memeroduksi kebajikan kebajikan sosial.

Pengalaman di atas saya alami sendiri ketika bersama teman mengantar Romo Mangunwijaya ke sebuah desa atas daerah rawan bencana Merapi. Disitu ada seorang Kiai NU yang bisa melakukan terapi pijat untuk penyakit mata yang diderita Romo Mangunwijaya. Penyakit Romo ini berkurang dan dia dengan tulus ikhlas menerima pertolongan dari seorang kiai pegunungan, diantar oleh aktivis ormas Islam.

Baca Juga: Film Kartu Pos Wini : Surat Beralamat Surga Tontonan yang Pas di Bulan Ramadan

Pengalaman praktik toleransi produktif juga saya saksikan sendiri dalam kasus yang lain. Ini saya lihat sebagai praktik toleransi gaya Yogya.

Ini juga dapat dilihat ketika terjadi bencana alam gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006. Teman teman seniman Jakarta mengadakan pameran foto dokumen gempa ini dan fotonya dilelang. Dana yang terkumpul dibelikan paket bantuan dan dibawa ke Yogya menggunakan dua truk yang dikawal tentara.

Waktu sampai Yogya, saya termasuk yang dipasrahi untuk membagi bantuan ini.
Dana terkumpul dari orang berbagai pemeluk agama. Maka juga dibagikan kepada masyarakat yang memeluk berbagai agama.

Baca Juga: Sambut Ramadan, JNE Yogyakarta Berbagi untuk Masjid dan Dhuafa

Untuk memudahkan, karena yang mengumpulkan adalah masyarakat seniman maka karena jumlah bantuan terbatas, sasaran yang dipilih untuk mendapat bantuan adalah masyarakat pengrajin yang ada di Imogiri, Kasongan dan Kotagede.

Dari Tim Jakarta ada yang dari kelompok serikat pekerja. Maka di tempat pembagian bantuan dia melakukan survei untuk memberikan bantuan tindak lanjut kepada pengrajin.

Kerjasama kemanusiaan antarpemeluk agama berbeda juga saya saksikan ketika pasca bencana erupsi Merapi. Ada sebuah sekolah di Sleman yang tenggelam dalam lumpur lahar atau lava pijar Gunung Merapi.
Dibangunlah sekolah darurat. Dan Tim relawan dari komunitas dialog antarpemeluk agama Salatiga datang untuk melakukan recovery mental para murid dan guru. Kami menggunakan metode therapi healing yang mendebarkan.

Baca Juga: Ingin Pasang PLTS Atap, Jangan Asal Pilih Inverternya

Anak anak yang menderita trauma bencana alam perlu dihilangkan efek dari trauma itu. Dengan permainan, menggambar, menulis puisi dan bernyanyi untuk memetakan kadar trauma mereka. Setelah ini cukup teridentifikasi maka mereka mereka diajak bermain musik drum blek atau drum ember.

Relawan yang mengajarkan murid yang masih menyimpan sisa trauma bilang ternyata anak anak sulit diajak memukul dengan irama drumband. Saya dan beberapa teman minta izin untuk meminjam ember besar di kamar mandi. Ember di balik, anak anak diminta memegang stik.

"Ayo pukul ember ini sekerasnya. Lebih keras lagi, sambil berteriak-teriak, ayo terus pukul ini ember!" Teriak relawan trauma healing.

"Kalau embernya jebol bagaimana?" Tanya seorang murid was was.
"Nggak papa. Terus pukuli ember sekerasnya sampai jebol!"

Baca Juga: Ingin Pasang PLTS Atap, Jangan Asal Pilih Inverternya

Anak-anak bersemangat. Naluri purba suku suku pedalaman seperti tercurah dan terlampiaskan. Ketika ember mulai retak dan jebol mereka berteriak sekeras-kerasnya.

"Saya hitung sampai sembilan, harus berhenti. Oke?" Teriak relawan.
"Oke, Pak!"

Betul. Setelah hitungan ke sembilan anak anak berhenti memukul. Mereka berteriak sekali lagi, melempar stik ke udara lalu tertawa tawa.
"Sekarang kita minum air teh hangat. Kalian haus kan?"

Baca Juga: Membangun Citra Sarkem yang Bermartabat Melalui Festival Budaya

Setelah minum air teh hangat dari tubuh anak anak mengalir keringat segar. Wajah anak anak tampak segar dan siap tersenyum

Trauma bencana alam telah hilang lenyap. Mereka siap berlatih musik dengan irama drumband. Mereka menggunakan benda seadanya untuk pengganti drum, tambur.

Tongkat mayoret dibuat dari gagang sapu. Untuk mengkompakkan nada dan irama, pak kepala sekolah memainkan pianika.
Dua minggu kemudian mereka berpawai keliling desa. Ditonton para penghuni rumah darurat dan pedagang di pasar darurat.

Baca Juga: Malioboro : Simbol Kekompakan Seniman, Sastrawan dan Budayawan

Untuk recovery mental para guru yang menderita trauma bencana juga seru. Mereka diminta menulis pengalaman ketika terjadi bencana. Tulisan dibaca oleh penulisnya dengan penghayatan tinggi.

Banyak yang histeris dan menangis. Lalu diajak bernyanyi lagu lagu lembut. Mereka pun sembuh dari trauma mereka.
Tim trauma healing dari Salatiga terdiri dari penganut agama yang berbeda beda dan guru serta murid sekolah pun sama beragamnya.

Dengan ungkapan cinta kemanusiaan maka toleransi bisa produktif, mengasyikkan kebajikan kebajikan yang takkan terlupakan seumur hidup. Bagi relawan dan bagi guru murid di lereng gunung Merapi ini (Mustofa W Hasyim).

Editor: Mustofa W Hasyim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x